Assalammualaikum Wr Wb

>السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

HAPPY BLOGG

Pages

Rabu, 01 Januari 2014

PENDEKATAN DALAM PEMBELAJARAN

Helloooo teman !!!
beberapa waktu lalu sudah saya singgung mengenai Pengertian, pendekatan,model, strategi, teknik dalam pembelajaran. Tapi kali ini saya akan memfokuskan mengenai pendekatan dalam pembelajaran, ada apa saja sih pendekatan dalam pembelajaran????? CHECK it Out,,

PENDEKATAN QUANTUM TEACHING, COOPERATIVE LEARNING. CONTEKSTUAL LEARNING, KONTRUKTIVISME DAN PENDEKATAN SCIENTIFIC 


Quantum Teaching
Pembelajaran kuantum ( Quantum Teaching ) diciptakan berdasarkan teori teori  pendidikan  seperti Accelerated  Learning dari  Lozanov, Multiple Intelegences dari  Garder, Neuro-Linguistic  Programming dari  Grinder  dan Bandler, Experiental Learning dari Hahn, Socratic Inquiry , Cooperative Learning dari  Johnson  dan  Johnson,  dan Element  of  Effective  Instruction dari  Hanter
(Porter, 2003:4). Pembelajaran kuantum adalah pengubahan belajar yang meriah dengan segala nuansanya. Kata quantum berart i interaksi yang mengubah energy menjadi  cahaya,  dengan  demikian quantum  teaching adalah  pengubahan bermacam-macam interaksi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar.
Komponen-komponen Pembelajaran Kuantum ( Quantum Teaching )
a. Sintaks
Kerangka rancangan pembelajaran kuantum dikenal dengan istilah TANDUR, yang  di  dalamnya  memiliki  6  tahap  atau  fase  yaitu  Tumbuhkan,  Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan (Porter, 2003:88).
Menurut  Bobbi  De  Potter  (2006:10)  kerangka pembelajaran  quantum  dikenal  dengan  TANDUR  yang dapat  diuraikan  sebagai  berikut: 
(1)  Tumbuhkan,
Kegiatan  ini  bertujuan  agar  siswa  terlibat  secara  aktif dalam  pembelajaran,  menciptakan  jalinan  dan kepemilikan bersama atau kemampuan saling memahami. Strategi  yang  bisa  dilakukan  guru  antara  lain  dengan memberikan  pertanyaan  tuntunan  seperti  :  hal  apa  yang siswa pahami, apa yang siswa setujui, apakah manfaatnya bagiku  (AMBAK).  Guru  harus  bisa  menumbuhkan/ mengembangkan minat siswa dan  memberikan dorongan terhadap  potensi  siswa  yang  dinamis,  menumbuhkan aktifitas dan daya cipta sehingga akan terjadi dinamika di dalam  proses  belajar;
 (2)  Alami,
Kegiatan  ini  untuk memberikan  pengalaman  pada  siswa  dan  memanfaatkan keingintahuan  siswa  .  Proses  pembelajaran  akan  lebih bermakna  jika  siswa  mengalami  secara  langsung  materi yang  diajarkan.  Strategi  yang  dapat  digunakan  antara lain  dengan  cara  memberikan  LKS  untuk  kegiatan  yang mengaktifkan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa;
(3) Namai,
Fungsi  dari  penamaan  untuk  memberikan identitas,  mengurutkan  dan  mendefinisikan  apa  yang telah  diajarkan.  Penamaan  merupakan  informasi,  fakta, rumus,pemikiran,  tempat,  dan  saatnya  guru  untuk mengajarkan  konsep,  ketrampilan  berfikir  dan  strategi belajar. Penamaan mampu memuaskan hasrat alami otak untuk  memberi  identitas,  mengurutkan  dan mendefinisikan.  Strategi  yang  dapat  digunakan  untuk penamaan antara lain, susunan gambar, warna alat bantu, kertas  tulis  dan  poster  di  dinding; 
(4)  Demontrasikan,
Kegiatan  ini  untuk  memberikan  siswa  peluang menterjemahkan  dan  menerapkan  pengetahuan  mereka dalam  pembelajaran.  Demontrasi  memberikan kesempatan  pada  siswa  untuk  membuat  kaitan,  berlatih dan  menunjukkan apa  yang siswa  ketahui. Strategi  yang dapat  digunakan  yaitu  menampilkan  hasil  percobaan, penjabaran dalam  grafik,  permainan dan  sebagainya; 
(5) Ulangi,
Pengulangan  berfungsi  untuk  memperkuat koneksi  syaraf  dengan  materi  yang  telah  diajarkan.  Hal ini menunjukkan bahwa  siswa benar-benar tahu. Strategi yang  dapat  digunakan  antara  lain  memberikan kesempatan  bagi  siswa  untuk  mengajarkan  pengetahuan siswa  kepada  siswa  lain  dan  pengulangan  bersama;  dan
(6)  Rayakan, 
Perayaan  merupakan  pengakuan  untuk penyelesaian, partisipasi untuk mendapatkan ketrampilan dan  ilmu  pengetahuan  dengan  menghormati  usaha, ketekunan  dan  kesuksesan  juga  untuk  menciptakan  dan menumbuhkan  keaktifan  siswa  selama  proses  belajar.
Strategi  yang  dapat  dilakukan  misalnya  :  tepuk  tangan, pengakuan  kekuatan,  pujian  (perkataan  bagus),  catatan pribadi,  kejutan,  persekongkolan,  pernyataan  afirmasi atau perayaan yang mendukung.
b. Prinsip Reaksi
Dalam  pembelajaran  kuantum  ada  lima  prinsi p dasar  yang  mempengaruhi terciptanya  lingkungan  belajar  yang  kondusif  (Porter,  2003:56).
 Adapun kelima  prinsip  dasar  tersebut  adalah:
 (1)  Prinsip  segalanya  berbicara  berarti seluruh lingkungan kelas membawa pesan ke pebelajar.
 (2) Prinsip segalanya bertujuan berarti semua pembelajaran haruslah mempunyai tujuan -tujuan yang jelas.
(3)  Prinsip  pengalaman  sebelum  pemberian  nama  berarti  sebelum mendefinisikan, membedakan, siswa terlebih dahulu telah memiliki atau telah diberikan pengalaman informasi yang terkait dengan upaya pemb erian nama tersebut.
(4)  Prinsip  akui  setiap  usaha  berarti  apapun  usaha  yang  telah dilakukan  siswa  haruslah  mendapat  pengakuan  dari  guru  maupun  siswa lainnya.
(5) Prinsip jika layak dipelajari maka layak dirayakan berarti setiap usaha  belajar  yang  dilakukan  layak  untuk  dirayakan  untuk  memberi  umpan balik dan meningkatkan asosiasi emosi positif dengan belajar.
c. Sistem Sosial
Pembelajaran kuantum dibangun berdasarkan asas “Bawalah Dunia Mereka ke Dunia  Kita,  dan  Antarkan  Dunia  Kita  ke  Dunia  Mereka”  (Porter,200 3:6), memberikan  pengertian  bahwa  hubungan  antara  guru  dengan  siswa  harus saling  mendukung.  Guru  memasuki  dunia  siswa  sebagai  upaya  memperoleh ijin  untuk  memimpin,  menuntun,  dan  memudahkan  siswa  untuk  memahami ilmu pengetahuan. Upaya ini dilakukan antara l ain dengan mengaitkan secara langsung  konsep -konsep  yang  akan  dikaji  dengan  peristiwa  sehari -hari  atau dari  pengalaman  sehari -hari  mereka.  Dengan  pengertian  yang  lebih  luas  dan mendalam  berdasarkan  interaksi  tersebut,  siswa  akan  dapat  membawa  apa yang  mereka  pelajari  ke  dalam  dunia  mereka  dan  menerapkannya  dalam situasi baru.
Untuk  mendukung  terciptanya  komunitas  belajar  yang  efektif  dan menyenangkan, maka dalam penerapan model pembelajaran kuantum diperlukan beberapa  alat  atau  media  seperti  kartu  penghargaan, dan Lembar  Keja  Siswa (LKS).
Melalui  penerapan  pembelajaran  kuantum,  dampak  instruksional  yang diperoleh  adalah  siswa -siswa  diharapkan  memiliki  pemahaman  konseptual  yang memadai  terkait  dengan  konsep -konsep  matematika  yang  dipelajari.  Dampak pengiring yang  diperoleh  adalah  nilai -nilai  positif  dalam  membangkitkan kesadaran akan pengetahuan yang relevan dan sikap kritis siswa dalam belajar.

Contextual  Teaching and  Learning
Pembelajaran  kontekstual  (Contextual  Teaching and  Learning)  adalah  konsep  belajar  yang  sangat  membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan  dengan  situasi  dunia  nyata  siswa  dan  mendorong  siswa  membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya  dengan  penerapannya  dalam  kehidupan  mereka  sehari-hari (Nanik & Dany, 2010:72)
Pemikiran tentang belajar  pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar  sebagai  berikut, 
(a)  proses  belajar  tidak  hanya menghafal.  Siswa  harus  mengkontruksi  pengetahuan  di benak ereka,
(b) siswa belajar dan mengalami,
(c) siswa mencatat  sendiri  pola-pola  bermakna  dari  pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru.

Menurut  Johnson  (2006:21-22)  ada  delapan komponen utama dalam pembelajaran kontekstual antara lain:
a.    Melakukan  hubungan  bermakna  (making meaningful  connection),
  Siswa  dapat  mengatur  diri sendiri  sebagai  orang  yang  belajar  secara  aktif  dalam mengembangkan  minatnya secara indifidual, orang  yang dapat  bekerja  sendiri  atau  kelompok,  dan  orang  yang dapat  belajar  sambil  berbuat  (learning  by  doing); 
(b) Melakukan kegiatan- kegiatan yang signifikan (  doing significant  work),
 Siswa  melakukan  pekerjaan  yang signifikan : ada tujuan, ada urusannya dengan orang lain, ada  hubungannya  dengan  penentuan  pilihan,  dan  ada produknya  atau  hasil  yang  sifatnya  nyata; 
(c)  Belajar yang  diatur  sendiri  (  self  regulated  learning  ), 
Siswa membuat  hubungan-hubungan  antara   sekolah  dan berbagai  konteks  yang  ada  dalam  kehidupan  nyata sebagai  pelaku  bisnis  dan  sebagai  anggota  masyarakat;
(d)  Bekerja sama ( collaborating ),
 Siswa  dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja sama secara efektif dalam  kelompok,  membantu  mereka  memahami bagaimana   mereka  saling  mempengaruhi  dan  saling berkomunikasi;
 (e)  Berpikir kritis dan kreatif (  critical and  creative  thinking  ), 
Siswa  dapat  menggunakan tingkat berfikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif yaitu dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah,  membuat  keputusan,  dan  menggunakan  logika dan  bukti-bukti; 
(f)  Mengasuh  atau  memelihara pribadi  siswa  (  nurturing  the  individual  ), 
Siswa memelihara  pribadinya   yaitu  mengetahui,  memberi perhatian,  memiliki  harapan-harapan  yang  tinggi, memotivasi  dan  memperkuat  diri  sendiri.  Siswa menghormati temannya dan orang dewasa. Namun siswa tidak  akan  berhasil  tanpa  orang  dewasa;
 (g)  Mencapai Penerapan standar  yang   tinggi  (reaching  high  standard),
 Siswa mengenal  dan  mencapai  standar  yang   tinggi  yaitu mengidentifikasi  tujuan  dan  memotivasi  siswa  untuk  mencapainya  dan 
(h)  Menggunakan  penilaian  yang autentik  (using  authentic  assesment),
Gambaran perkembangan  pengalaman  siswa  perlu  diketahui  guru setiap  saat  agar  bisa  memastikan  benar  tidaknya  proses belajar siswa Penilaian autentik memberikan kesempatan luas  bagi  siswa  untuk  menunjukkan  apa  yang  telah mereka  pelajari  selam  proses  belajar  mengajar.  Adapun bentuk-bentuk penilaian yang dapat digunakan oleh guru adalah  portofolio,  tugas  kelompok,  demonstrasi,  dan laporan tertulis.

Kooperatif
Cooperative  Learning  (CL)  secara  etimologi  mempunyai  arti  belajar bersama antara dua orang atau lebih, sedangkan CL dalam artian yang lebih luas  memiliki  devinisi  yang  antara  lain  adalah  belajar  bersama  yang melibatkan antara 4 –  5 orang, yang bekerja bersama menuju kelompok kerja dimana  tiap  anggota  bertangungjawab  secara  individu  sebagai  bagian  dari hasil  yang  tak  akan  bisa  dicapai  tanpa  adanya  kerjasama  antar  kelompok. Dengan kata, anggota kelompok saling tergantung secara positif.  (Alexandre 2003).
Model  pembelajaran  kooperatif merupakan  suatu  model  pembelajaran  yang  mengutamakan  adanya  kelompok-kelompok. Setiap siswa  yang ada dalam kelompok mempunyai tingkat kemampuan yang  berbeda-beda  (tinggi,  sedang  dan  rendah)  dan  jika  memungkinkan  anggota kelompok  berasal  dari  ras,  budaya,  suku  yang  berbeda  serta  memperhatikan kesetaraan jender. Model pembelajaran kooperatif mengutamakan  kerja sama dalam menyelesaikan  permasalahan  untuk  menerapkan  pengetahuan  dan  keterampilan dalam  rangka  mencapai  tujuan  pembelajaran.

Menurut  Nur  (2000),  semua  model pembelajaran  ditandai  dengan  adanya  struktur  tugas,  struktur  tujuan  dan  struktur penghargaan. Struktur tugas, struktur tujuan dan struktur penghargaan  pada model pembelajaran kooperatif berbeda dengan struktur tugas, struktur tujuan serta struktur penghargaan  model  pembelajaran  yang  lain.  Dalam  proses  pembelajaran  dengan Paket Pembinaan Penataran model pembelajaran kooperatif, siswa didorong untuk bekerja sama pada suatu tugas bersama dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugas yang  diberikan  guru.
Tujuan  model  pembelajaran  kooperatif  adalah  hasil  belajar akademik  siswa  meningkat  dan  siswa  dapat  menerima  berbagai  keragaman  dari temannya, serta pengembangan keterampilan sosial.
Menurut Nur (2000), prinsip dasar dalam pembelajaran kooperatif sebagai berikut.
1.  Setiap  anggota  kelompok  (siswa)  bertanggung  jawab  atas  segala  sesuatu  yang dikerjakan dalam kelompoknya.
2.  Setiap  anggota  kelompok  (siswa)  harus  mengetahui  bahwa  semua  anggota kelompok mempunyai tujuan yang sama.
3.  Setiap anggota kelompok (siswa) harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompoknya.
4.  Setiap anggota kelompok (siswa) akan dikenai evaluasi.
5.  Setiap  anggota  kelompok  (siswa)  berbagi  kepemimpinan  dan  membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya.
6.  Setiap anggota kelompok (siswa) akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Nur (2000), ciri-ciri model pembelajaran kooperatif sebagai berikut.
1.  Siswa  dalam  kelompok  secara  kooperatif  menyelesaikan  materi  belajar  sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.
2.  Kelompok  dibentuk  dari  siswa  yang  memiliki  kemampuan  yang  berbeda-beda,baik  tingkat  kemampuan  tinggi,  sedang  dan  rendah.  Jika  mungkin  anggota kelompok  berasal  dari  ras,  budaya,  suku  yang  berbeda  serta  memperhatikan kesetaraan jender.
3.  Penghargaan lebih menekankan pada kelompok dari pada masing-masing individu. Dalam pembelajaran kooperatif dikembangkan diskusi dan komunikasi dengan tujuan agar  siswa  saling  berbagi  kemampuan,  saling  belajar  berpikir  kritis,  saling menyampaikan  pendapat,  saling  memberi  kesempatan  menyalurkan  kemampuan, saling membantu belajar, saling menilai kemampuan dan peranan diri sendiri maupun teman lain.

Beberapa tipe model pembelajaran kooperatif yang dikemukakan oleh beberapa ahli antara  lain  Slavin  (1985),  Lazarowitz  (1988)  atau  Sharan  (1990)  dalam  Rachmadi (2006) sebagai berikut.
1.  Pembelajaran kooperatif Tipe Jigsaw.
Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini pertama kali dikembangkan oleh Aronson dkk. Langkah-langkah dalam penerapan jigsaw adalah sebagai berikut.
a.  Guru  membagi  suatu  kelas  menjadi  beberapa  kelompok,  dengan  setiap kelompok terdiri dari 4 - 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda baik tingkat  kemampuan  tinggi,  sedang  dan  rendah  serta  jika  mungkin  anggota Paket Pembinaan Penataran kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan jender. Kelompok  ini  disebut  kelompok  asal.  Jumlah  anggota  dalam  kelompok  asal menyesuaikan  dengan  jumlah  bagian  materi  pelajaran  yang  akan  dipelajari siswa  sesuai  dengan   tujuan  pembelajaran  yang  akan  dicapai. 
Dalam  tipe jigsaw  ini,  setiap  siswa  diberi  tugas  mempelajari  salah  satu  bagian  materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi pembelajaran  yang sama belajar  bersama  dalam  kelompok  yang  disebut  kelompok  ahli  (Counterpart Group/CG).
Dalam kelompok ahli siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama,  serta  menyusun  rencana  bagaimana  menyampaikan  kepada  temannya jika  kembali  ke  kelompok  asal. 
Setelah  siswa  berdiskusi  dalam  kelompok  ahli  maupun  kelompok  asal, selanjutnya  dilakukan  presentasi  masing-masing  kelompok  atau  dilakukan pengundian  salah  satu  kelompok  untuk  menyajikan  hasil  diskusi  kelompok yang  telah  dilakukan  agar  guru  dapat  menyamakan  persepsi  pada  materi pembelajaran yang telah didiskusikan.
c.  Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual.
d.  Guru  memberikan   penghargaan  pada  kelompok  melalui  skor  penghargaan berdasarkan  perolehan  nilai  peningkatan  hasil  belajar  individual  dari  skor dasar ke skor kuis berikutnya (terkini).
e.  Materi sebaiknya  secara  alami  dapat  dibagi  menjadi  beberapa bagian  materi pembelajaran
f.  Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan jigsaw untuk belajar materi  baru maka perlu dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.

2.  Pembelajaran kooperatif tipe NHT (Number Heads Together)
Pembelajaran  kooperatif  tipe  NHT  dikembangkan  oleh  Spencer  Kagen  (1993). Pada  umumnya  NHT  digunakan  untuk  melibatkan  siswa  dalam  penguatan pemahaman  pembelajaran  atau  mengecek  pemahaman  siswa  terhadap  materi pembelajaran.
Langkah-langkah penerapan NHT:
a.  Guru  menyampaikan  materi  pembelajaran  atau  permasalahan  kepada  siswa sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.
b.  Guru  memberikan  kuis  secara  individual  kepada  siswa  untuk  mendapatkan skor dasar atau awal.
c.  Guru membagi kelas dalam beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari 4–5 siswa, setiap anggota kelompok diberi nomor atau nama.
d.  Guru mengajukan permasalahan untuk dipecahkan bersama dalam kelompok.
e. Guru mengecek pemahaman siswa dengan menyebut salah satu nomor(nama) anggota kelompok untuk menjawab. Jawaban salah satu siswa yang ditunjuk oleh guru merupakan wakil jawaban dari kelompok.
f.  Guru  memfasilitasi  siswa  dalam  membuat  rangkuman,  mengarahkan,  dan memberikan penegasan pada akhir pembelajaran.
g.  Guru memberikan tes/kuis kepada siswa secara individual
h. Guru  memberi  penghargaan  pada  kelompok  melalui   skor  penghargaan berdasarkan  perolehan  nilai  peningkatan  hasil  belajar  individual  dari  skor dasar ke skor kuis berikutnya(terkini).

3.  Pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions).
Pembelajaran kooperatif tipe STAD dikembangkan oleh Slavin dkk.
Langkah-langkah penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD:
a.  Guru  menyampaikan  materi  pembelajaran  atau  permasalahan  kepada  siswa sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.
b.  Guru  memberikan  tes/kuis  kepada  setiap  siswa  secara  individual  sehingga akan diperoleh skor awal.
c.  Guru  membentuk  beberapa  kelompok.  Setiap  kelompok  terdiri  dari  4  –  5 siswa  dengan  kemampuan  yang  berbeda-beda  (tinggi,  sedang  dan  rendah). Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan jender.
d.  Bahan  materi  yang  telah  dipersiapkan   didiskusikan  dalam  kelompok  untuk mencapai kompetensi dasar. Pembelajaran kooperatif tipe STAD,biasanya digunakan untuk penguatan pemahaman materi (Slavin, 1995).
e.  Guru  memfasilitasi  siswa  dalam  membuat  rangkuman,  mengarahkan,  dan memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah dipelajari.
f.  Guru memberikan tes/kuis kepada setiap siswa secara individual.
g.  Guru  memberi  penghargaan  pada  kelompok  berdasarkan  perolehan  nilai peningkatan  hasil  belajar  individual  dari  skor  dasar  ke  skor  kuis  berikutnya (terkini).

4.  Pembelajaran  kooperatif  tipe  TAI  (Team  Assited  Individualization  atau  Team Accelarated Instruction)
Pembelajaran  kooperatif  tipe  TAI  ini  dikembangkan  oleh  Slavin.  Tipe ini mengkombinasikan  keunggulan  pembelajaran  kooperatif  dan  pembelajaran individual.  Tipe  ini  dirancang  untuk  mengatasi  kesulitan  belajar  siswa  secara individual.  Oleh  karena  itu  kegiatan  pembelajarannya  lebih  banyak  digunakan untuk pemecahan masalah, ciri khas pada tipe TAI ini adalah setiapsiswa secara individual belajar materi pembelajaran yang sudah dipersiapkan oleh guru. Hasil belajar individual dibawa ke kelompok-kelompok untuk didiskusikan dan saling dibahas  oleh  anggota  kelompok,  dan  semua  anggota  kelompok  bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab bersama.
Langkah-langkah pmbelajaran kooperatif tipe TAI sebagai berikut.
a.  Guru memberikan tugas kepada siswa untuk mempelajari materi pembelajaran secara individual yang sudah dipersiapkan oleh guru.
b.  Guru  memberikan  kuis  secara  individual  kepada  siswa  untuk  mendapatkan skor dasar atau skor awal.
c.  Guru  membentuk  beberapa  kelompok.  Setiap  kelompok  terdiri  dari  4  –  5 siswa  dengan  kemampuan  yang  berbeda-beda  baik  tingkat  kemampuan (tinggi, sedang dan rendah) Jika mungkin anggota kelompok berasal dari  ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan jender.
d.  Hasil  belajar  siswa  secara  individual   didiskusikan  dalam  kelompok.  Dalam diskusi kelompok, setiap anggota kelompok saling memeriksa jawaban teman satu kelompok.
e.  Guru  memfasilitasi  siswa  dalam  membuat  rangkuman,  mengarahkan,  dan memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah dipelajari.
f.  Guru memberikan kuis kepada siswa secara individual.
g.  Guru  memberi  penghargaan  pada  kelompok  berdasarkan  perolehan  nilai peningkatan  hasil  belajar  individual  dari  skor  dasar  ke  skor  kuis  berikutnya (terkini).
Dalam  buku  (Peter  G.  and  Lorna  K.  333;  1990),  prosedur pendekatan  cooperative  learning  telah  dijelaskan  ada  7  langkah.  Langkahlangkah tersebut yaitu :
1.      Menetapkan tujuan pembelajaran, aktifitas, dan penghargaan
Yaitu membuat keputusan sejak awal tentang tujuan pembelajaran dan jenis  aktifitas  yang  sesuai  dengan  mereka.  Keputusan  harus  dibuat tentang apakah tujuan pembelajar diambil dari domain kognitif (dalam area  keahlian  akademis),  afektif  (dalam  area  sikap  dan  nilai),  atau domain  psikomotor  (keahlian  fisik).  Tugas  lain  adalah  menanyakan keahlian  yang  diperlukan  untuk  bekerjasama  untuk  tujuan  bersama kelompok (Johnson 1987). Penghargaan itu sendiri perlu untuk dipilih. Kebanyakan guru lebih suka memilih penghargaan yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan ekspektasi kelompok.
2.  Komposisi kelompok.
Yaitu  merupakan  bentuk  praktek  yang  baik  untuk  membentuk kelompok  yang  terdiri  dari  seorang  siswa  yang  punya  kemampuan diatas rata-rata, dua sampai empat siswa  dengan kemampuan rata-rata dan  seorang  siswa  dengan  kemampuan  dibawah  rata-rata  atau  anakanak dengan kebutuhan khusus.
3.    Kerjasama  yang  efektif.
Yaitu  dengan  cara  menjelaskan  kepada  siswa bagaimana  cara  anggota  kelompok  harus  bekerja  sama  antara  satu dengan  yang  lainnya.  Prosedur  untuk  kerjasama  yang  efektif  harus dibuat  secara  eksplisit.  Kolaborasi  diantara  siswa  vital  untuk kesuksesan prosedur ini.
4.  Perilaku yang dapat diterima dan tidak dapat diterima.
Guru  harus  memberikan  penjelasan  secara  tegas  tentang  apa  yang dapat  diterima  dan  yang  tidak  dapat  dieterima  dalam  kelompok  dan menetapkan  peraturan  untuk  pemfungsian  kelompok  dengan  tepat sebelum kelompok mulai mengerjakan tugasnya.
5.  Periode percobaan dan umpan balik.
Guru  harus  memberikan  umpan  balik  kepada  kelompok  tentang kualitas  kelompok  dan  kinerja  individu.  Penting  bagi  individu  untuk menerima umpan balik sejak awal.
6.  Bantuan dari guru kepada siswa.
Guru  atau  pengajar  khusus  harus  dipersiapkan  untuk  memberikan bantuan ekstra atau bantuan tambahan kepada siswa yang mempunyai masalah  belajar  ketika  hal  itu  diperlukan.  Siswa  harus  diberitahukan bagaimana dan kapan mereka harus mencari bantuan tersebut.
7.  Melakukan evaluasi.
Guru  harus  melakukan  evaluasi  tentang  prosedur  pembelajaran cooperative  learning.  Kebanyakan  guru  ingin  memberikan  pertanyaan yang  lebih  tepat/teliti  tentang  evaluasi.  Kualitas  hasil  dan  jumlah waktu  yang  diperlukan  untuk  pembentukan  kelompok  perlu dipertimbangkan.  Penelitian  dan  pengalaman  praktis  cenderung menunjukkan bahwa guru pada umumnya mendukung metode ini dan bahwa  hasil  pembelajaran  akan  menjustifikasi  penggunaan  mereka. (Slavin, 1987b).
Keuntungan Metode Cooperative Learning
Banyak  pihak  yang  mengklaim  bahwa  kerja  sama  mempunyai keuntungan  atas  persaingan  dalam  situasi  pembelajaran  atau  situasi belajar.  Deutsch  (1949),  Shaw  (1976)  serta  Johnson  (1985;  1987)  telah mengindentifikasi  beberapa  keuntungan  ketika  pembelajaran  cooperative learning  diterapkan  dengan  baik. 
Pertama,  siswa  dalam  kelompok kooperatif  mampu  bekerja  sama  untuk  kebaikan  kelompok  secara keseluruhan  ketimbang  hanya  untuk  kebutuhan  individu  saja.
Kedua, siswa  dalam  kelompok  pembelajaran  kooperatif  dapat  didorong  untuk membantu  siswa  yang  mempunyai  masalah  dalam  belajar  atau membantu  siswa  yang  cacat. 
Ketiga,  prosedur  pembelajaran  kooperatif memudahkan integrasi sosial dari kebutuhan khusus siswa. Akibat yang dihasilkan  adalah  sikap  yang  lebih  toleran  kepada  mereka  yang mempunyai  perbedaan  dalam  hal  kemampuan,  latar  belakang  sosial, kelas  sosial,  ras  dan  latar  belakang  akademis.  Keempat,  metode pembelajaran  kooperatif  dapat  digunakan  untuk  meyediakan penghargaan  atau  reward  baik  kepada  siswa  berprestasi  tinggi  maupun siswa  berprestasi  rendah.  Kelima,  pembelajaran  cooperatif  learningmemudahkan  pembagian  usaha  dan  tugas  yang  dapat  disesuaikan dengan  kebutuhan  individu.  Siswa  dapat  diminta  untuk  menjalankan tugas di area yang paling mereka ketahui atau menyelesaikan tugas yang paling sesuai dengan kemampuan individualnya.  Keenam, pembelajaran kooperatif  mendorong  kemunikasi  antar  siswa,  dan  hasilnya  adalah pembelajaran  yang  lebih  baik  dan  hubungan  antar  personal  yang semakin membaik. (Peter G. and Lorna K. 327; 1990).
c.  Pendekatan Cooperative Learning dalam Pembelajaran IPS
Kerjasama  yang  dilandasi  dengan  pemikiran  studi  sosial  yang diwujudkan  dalam  pembelajaran  yang  menggunakan  pendekatan  CL merupakan  pemikiran  yang  sangat  penting  dalam  pendidikan  Ilmu Pengetahuan  Sosial  (IPS).  Pendidikan  IPS  di  sekolah  merupakan  suatu penyederhanaan  disiplin-disiplin  ilmu-ilmu  sosial  (seperti,  ekonomi, antropologi,  sosiologi,  sejarah  politik  dan  geografi),  psikologi,  filsafat ideologi  negara  dan  agama  yang  diorganisasikan  secara  ilmiah  dan psikologi  untuk  tujuan  pendidikan  (Soemantri;  2001).  Dengan  demikian maka  mata  pelajaran  IPS  yang  memiliki  kaitan  erat  dengan  berbagai disiplin  ilmu  tentunya  memiliki  peranan  yang  cukup  penting  dalam membentuk  individu  yang  mampu  berpartisipasi  dan  memberikan sumbangan  pada  komunitasnya,  masyarakatnya  dan  bangsa  di  mana peningkatan  kelangsungan  hidup,  kemajuan  dan  peningkatan  pribadi terbentuk. Tanpa adanya kerjasama yang efektif dengan orang lain, maka hal  tersebut  tentunya  akan  sulit  di  wujudkan.  Suatu  komunitas, masyarakat  dan  bangsa  tidak  dapat  eksis  berlangsung  lama  kecuali apabila  individu  –  individu  tidak  memiliki  kemampuan  untuk bekerjasama  dengan  orang  lain.  Beberapa  hasil  penilitian  menunjukkan bahwa  pada  umumya  orang  kehilangan  pekerjaan  dan  gagal  dalam berkarya  karena  kurang  memiliki  kemampuan  interpersonal  skill  atau kemampuan kerjasama dengan orang lain. ( Ellis dan Whalen; 1990).
Oleh karena itu maka para pendidik IPS memiliki tanggungjawab dalam  membantu  siswa  untuk  memperoleh  kemampuan  berpartisipasi dan  berkerjasama  secara  efektif  di  dalam  setting  sosial  dan  masyarakat. Tanggungjawab  tersebut  akan  dapat  terlaksana  secara  efektif  apabila pendidik  IPS  menerapkan  proses  pembelajaran  melalui   pendekatan Cooperative Learning (CL). Oleh karenanya pemahaman para pendidik IPS tentang CL dalam kontek pendidikan IPS sangat penting.
Konstruktivisme

Model  pembelajaran  konstruktivisme  adalah  salah  satu  pandangan  tentang  proses  pembelajaran  yang  menyatakan  bahwa  dalam  proses  belajar  (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif. Konflik kognitif ini hanya dapat  diatasi  melalui  pengetahuan  akan  dibangun  sendiri  oleh  anak  melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya.
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif  mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu:
(1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan,
(2) mengutamakan proses,
(3) menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman social,
(4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman.

Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam Degeng mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
          
Aspek-aspek Pembelajaran Konstruktivisme
Fornot mengemukakan aaspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi (adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget  bermakna yaitu adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru perngertian orang itu berkembang.
Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.
Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya sebagai scaffolding. Scaffolding, berarti membrikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu
1.      siswa mencapai keberhasilan dengan baik,
2.      siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan,
3.      siswa gagal meraih keberhasilan.
Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum.
Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah:
1.      mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan,
2.      zona of proximal development.
 Pembelajar sebagai  mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan social pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, funsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka. Zona  of proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Pengetahuan berjenjang tersebut seperti pada sekema berikut.




Keuntungan  dan  kelemahan  dalam  menggunakan  model konstruktivisme
Dalam penggunaan model konstruktivisme terdapat keuntungan yaitu :
1.      Dapat  memberikan  kemudahan  kepada  siswa  dalam  mempelajari konsep IPA.
2.      Melatih siswa berfikir kritis dan kreatif.

Adapun kelemahan pembelajaran konstruktivisme adalah :
1.      Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil  konstruksi  siswa  tidak  cocok  dengan  hasil  konstruksi  para ilmuan sehingga menyebabkan miskonsepsi.
2.      Konstruktivisme  menanamkan  agar  siswa  membangun pengetahuannya  sendiri,  hal  ini  pasti  membutuhkan  waktu  yang lama  dan  setiap  siswa  memerlukan  pen anganan  yang  berbedabeda.
3.      Situasi  dan  kondisi  tiap  sekolah  tidak  sama,  karena  tidak  semua sekolah memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas siswa.

Pendekatan Scientific

Pendekatan ilmiah berarti konep dasar yang menginspirasi atau melatarbelakangi perumusan metode mengajar dengan menerapkan karakteristik yang ilmiah. Pendekatan pembelajaran ilmiah (scientific teaching) merupakan bagian dari pendekatan pedagogis pada pelaksanaan pembelajaran dalam kelas yang  melandasi penerapan metode ilmiah. 
Pengertian penerapan pendekatan ilmiah dalam pembelajaran tidak hanya fokus pada bagaimana mengembangkan kompetensi siswa dalam melakukan observasi atau eksperimen, namun bagaimana mengembangkan pengetahuan dan keterampilan berpikir sehingga dapat mendukung aktivitas kreatif dalam berinovasi atau berkarya.
Menurut  majalah Forum Kebijakan Ilmiah yang terbit di Amerika pada tahun 2004 sebagaimana dikutip Wikipedia menyatakan  bahwa pembelajaran ilmiah mencakup strategi pembelajaran siswa aktif yang mengintegrasikan siswa dalam proses berpikir dan penggunaan metode yang teruji secara ilmiah sehingga dapat membedakan kemampuan siswa yang bervariasi. Penerapan metode ilmiah membantu guru mengindentifikasi perbedaan kemampuan siswa.
Pada penerbitan berikutnya pada tahun 2007  dinyatakan bahwa penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran harus memenuhi  tiga prinsip utama; yaitu:
·         Belajar siswa aktif, dalam hal ini  termasuk inquiry-based learning atau belajar berbasis penelitian, cooperative learning atau belajar berkelompok, dan belajar berpusat pada siswa.
·         Assessment berarti  pengukuran kemajuan belajar siswa yang dibandingkan dengan target pencapaian tujuan belajar.
·         Keberagaman mengandung makna bahwa dalam pendekatan ilmiah mengembangkan pendekatan keragaman.  Pendekatan ini membawa konsekuensi siswa unik, kelompok siswa unik, termasuk keunikan dari kompetensi, materi, instruktur, pendekatan dan metode mengajar, serta konteks.

Banyak para ahli yang meyakini bahwa melalui pendekatan saintifik/ilmiah, selain dapat menjadikan siswa lebih aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya, juga dapat mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan guna menemukan fakta-fakta dari suatu fenomena atau kejadian. Artinya, dalam proses pembelajaran, siswa dibelajarkan dan dibiasakan untuk menemukan kebenaran ilmiah, bukan diajak untuk beropini apalagi fitnah dalam melihat suatu fenomena. Mereka dilatih untuk mampu berfikir logis, runut dan sistematis, dengan menggunakan kapasistas berfikir tingkat tinggi (High Order Thingking/HOT). Combie White (1997) dalam bukunya yang berjudul “Curriculum Innovation; A Celebration of Classroom Practice” telah mengingatkan kita tentang pentingnya membelajarkan para siswa tentang fakta-fakta. “Tidak ada yang lebih penting, selain  fakta“,  demikian ungkapnya.
Penerapan pendekatan saintifik/ilmiah dalam pembelajaran menuntut adanya perubahan setting dan bentuk pembelajaran tersendiri yang berbeda dengan pembelajaran konvensional. Beberapa metode pembelajaran yang dipandang sejalan dengan prinsip-prinsip pendekatan saintifik/ilmiah, antara lain metode: (1) Problem Based Learning; (2) Project Based Learning; (3) Inkuiri/Inkuiri Sosial; dan (4) Group Investigation. Metode-metode ini berusaha membelajarkan siswa untuk mengenal masalah, merumuskan masalah, mencari solusi  atau menguji  jawaban sementara atas suatu masalah/pertanyaan dengan melakukan penyelidikan (menemukan fakta-fakta melalui penginderaan), pada akhirnya dapat menarik kesimpulan dan menyajikannya secara lisan maupun tulisan.
Pendekatan Saintifik-Ilmiah
Pendekatan Saintifik-Ilmiah
Apakah pendekatan saintifik/ilmiah dengan langkah-langkah seperti dikemukakan di atas bisa diterapkan di semua jenjang pendidikan? Jawabannya tentu akan menjadi perdebatan keilmuan, tetapi saya memegang satu teori yang sudah kita kenal yaitu Teori Perkembangan Kognitif dari Piaget yang  mengatakan bahwa mulai usia 11 tahun hingga dewasa (tahap formal-operasional), seorang individu telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara simultan maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif yaitu: (1) Kapasitas menggunakan hipotesis; kemampuan berfikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang dia respons; dan (2) Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak; kemampuan untuk mempelajari materi-materi pelajaran yang abstrak secara luas dan mendalam.
Dengan demikian, tampaknya pendekatan saintifik/ilmiah dalam pembelajaran sangat mungkin untuk diberikan mulai pada usia tahapan ini. Tentu saja, harus dilakukan secara bertahap, dimulai dari penggunaan hipotesis dan berfikir abstrak yang sederhana, kemudian seiring dengan perkembangan kemampuan berfikirnya dapat ditingkatkan dengan menggunakan hipotesis dan berfikir abstrak yang lebih kompleks.

Sementara itu, Kemendikbud (2013) memberikan konsepsi tersendiri  bahwa pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran didalamnya mencakup komponen: mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta. Komponen-komponen tersebut seyogyanya  dapat dimunculkan dalam setiap praktik pembelajaran,  tetapi bukanlah sebuah siklus pembelajaran. Untuk lebih jelasnya tentang pendekatan ilmiah versi Kemendikbud ini Anda bisa melihatnya melalui file yang bisa Anda unduh di bawah ini:

Kaidah-kaidah Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran
Penggunaan Pendekatan saintifik dalam pembelajaran  harus dipandu dengan kaida-kaidah pendekatan ilmiah. Pendekatan ini bercirikan penonjolan dimensi pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu kebenaran. Dengan demikian, proses pembelajaran harus dilaksanakan dengan dipandu nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau kriteria ilmiah. Proses pembelajaran disebut ilmiah jika memenuhi kriteria seperti berikut ini.
Pertama: Substansi atau materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.
  • Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif guru-peserta didik terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
  • Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran.
  • Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain dari substansi atau materi pembelajaran.
  • Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi atau materi pembelajaran.
  • Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapatdipertanggung-jawabkan.
  • Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana, jelas, dan menarik sistem penyajiannya.
Kedua: Proses pembelajaran harus terhindar dari sifat-sifat atau nilai-nilai nonilmiah yang meliputi intuisi, akal sehat, prasangka, penemuan melalui coba-coba, dan asal berpikir kritis.
  • Intuisi. Intuisi sering dimaknai sebagai kecakapan praktis yang kemunculannya bersifat irasional dan individual. Intuisi juga bermakna kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh seseorang atas dasar pengalaman dan kecakapannya. Istilah ini sering juga dipahami sebagai penilaian terhadap sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara cepat dan berjalan dengan sendirinya. Kemampuan intuitif itu biasanya didapat secara cepat tanpa melalui proses panjang dan tanpa disadari. Namun demikian, intuisi sama sekali menafikan dimensi alur pikir yang sistemik.
  • Akal sehat. Guru dan peserta didik harus menggunakan akal sehat selama proses pembelajaran, karena memang hal itu dapat menunjukan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang benar. Namun demikian, jika guru dan peserta didik hanya semata-mata menggunakan akal sehat dapat pula menyesatkanmereka dalam proses dan pencapaian tujuan pembelajaran.
  • Prasangka. Sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang diperoleh semata-mata atas dasar akal sehat (comon sense) umumnya sangat kuat dipandu kepentingan seseorang (guru, peserta didik, dan sejenisnya) yang menjadi pelakunya. Ketika akal sehat terlalu kuat didomplengi kepentingan pelakunya, seringkali mereka menjeneralisasi hal-hal khusus menjadi terlalu luas.  Hal inilah yang menyebabkan penggunaan akal sehat berubah menjadi prasangka atau pemikiran skeptis. Berpikir skeptis atau prasangka itu memang penting, jika diolah secara baik. Sebaliknya akan berubah menjadi prasangka buruk atau sikap tidak percaya, jika diwarnai oleh kepentingan subjektif guru dan peserta didik.
  • Penemuan coba-coba.  Tindakan atau aksi coba-coba seringkali melahirkan wujud atau temuan yang bermakna. Namun demikian, keterampilan dan pengetahuan yang ditemukan dengan caracoba-coba selalu bersifat tidak terkontrol, tidak memiliki kepastian, dan tidak bersistematika baku. Tentu saja, tindakan coba-coba itu ada manfaatnya bahkan mampu mendorong kreatifitas.Karena itu, kalau memang tindakan coba-coba ini akan dilakukan, harus diserta dengan pencatatan atas setiap tindakan, sampai dengan menemukan kepastian jawaban.  Misalnya, seorang peserta didik mencoba meraba-raba tombol-tombol sebuah komputer laptop, tiba-tiba dia kaget komputer laptop itu menyala. Peserta didik pun melihat lambang tombol yang menyebabkan komputer laptop itu menyala dan mengulangi lagi tindakannya, hingga dia sampai pada kepastian jawaban atas tombol dengan lambang  seperti apa yang bisa memastikan bahwa komputer laptop itu bisa menyala.
  • Asal Berpikir Kritis.  Kamampuan berpikir kritis itu ada pada semua orang, khususnya mereka yang normal hingga jenius. Secara akademik diyakini bahwa pemikiran kritis itu umumnya dimiliki oleh orang yang bependidikan tinggi. Orang seperti ini biasanya pemikirannya dipercaya benar oleh banyak orang. Tentu saja hasil pemikirannya itu tidak semuanya benar, karena bukan berdasarkan hasil esperimen yang valid dan reliabel, karena pendapatnya itu hanya didasari atas pikiran yang logis semata.
Langkah-langkah Pembelajaran Saintifik
 Pembelajaran saintifik terdiri atas lima langkah, yaitu Observing (mengamati), Questioning  (menanya), Associating  (menalar),Experimenting (mencoba), Networking (membentuk Jejaring/ mengkomunikasikan), seperti tampak pada gambar berikut.
1.      MENGAMATI
Mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning). Mengamati memiliki keunggulan  tertentu, seperti menyajikan media obyek secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Tentu saja kegiatan mengamati dalam rangka pembelajaran ini biasanya memerlukan waktu persiapan yang lama dan matang, biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika tidak terkendali akan mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran.
Mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik. Sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi. Dengan metode observasi peserta didik menemukan fakta bahwa ada hubungan antara obyek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang digunakan oleh guru.
Kegiatan mengamati dalam pembelajaran dilakukan dengan menempuh langkah-langkah seperti berikut ini.
  • Menentukan objek apa yang akan diobservasi
  • Membuat pedoman observasi sesuai dengan lingkup objek yang akan diobservasi
  • Menentukan  secara jelas  data-data apa yang perlu diobservasi, baik primer maupun sekunder
  • Menentukan di mana tempat objek yang akan diobservasi
  • Menentukan secara jelas bagaimana observasi akan dilakukan untuk mengumpulkan data agar berjalan mudah dan lancar
  • Menentukan cara dan melakukan pencatatan atas hasil observasi , seperti menggunakan buku catatan, kamera, tape recorder, video perekam, dan alat-alat tulis lainnya.
Kegiatan observasi  dalam proses pembelajaran meniscayakan keterlibatan peserta didik secara langsung. Dalam kaitan ini, guru harus memahami bentuk keterlibatan peserta didik dalam observasi tersebut.
  • Observasi biasa (common observation). Pada observasi biasa untuk kepentingan pembelajaran, peserta didik merupakan subjek yang sepenuhnya melakukan observasi (complete observer). Di sini peserta didik sama sekali tidak melibatkan diri dengan pelaku, objek, atau situasi yang diamati.
  • Observasi terkendali (controlled observation).  Seperti halnya observasi biasa, pada observasi terkendali untuk kepentingan pembelajaran, peserta didik sama sekali tidak melibatkan diri dengan pelaku, objek, atau situasi yang diamati. Mereka juga tidak memiliki hubungan apa pun dengan pelaku, objek, atau situasi yang diamati. Namun demikian, berbeda dengan observasi biasa, pada observasi terkendali pelaku atau objek  yang diamati ditempatkan pada ruang atau situasi yang dikhususkan. Karena itu, pada pembelajaran dengan observasi terkendali termuat nilai-nilai percobaan atau eksperimen  atas diri pelaku atau objek yang diobservasi.
  • Observasi partisipatif (participant observation). Pada observasi partisipatif, peserta didik melibatkan diri secara langsung dengan pelaku atau objek yang diamati. Sejatinya, observasi semacam ini paling lazim dilakukan dalam penelitian antropologi khususnya etnografi. Observasi semacam ini mengharuskan peserta didik melibatkan diri pada pelaku, komunitas, atau objek yang diamati. Di bidang pengajaran bahasa, misalnya, dengan menggunakan pendekatan ini berarti peserta didik hadir dan “bermukim” langsung di tempat subjek atau komunitas tertentu dan pada waktu tertentu pula untuk  mempelajari bahasa atau dialek setempat, termasuk melibatkan diri secara langsung dalam situasi kehidupan mereka.
Selama proses pembelajaran, peserta didik dapat melakukan observasi dengan dua cara pelibatan diri. Kedua cara pelibatan dimaksud  yaitu observasi berstruktur dan observasi tidak berstruktur, seperti dijelaskan berikut ini.
  • Observasi berstruktur.  Pada observasi berstruktur dalam rangka proses pembelajaran, fenomena subjek, objek, atau situasi apa yang ingin diobservasi oleh peserta didik telah direncanakan oleh secara sistematis di bawah bimbingan guru.
  • Observasi tidak berstruktur. Pada observasi yang tidak berstruktur dalam rangka proses pembelajaran, tidak ditentukan secara baku atau rijid mengenai apa yang harus diobservasi oleh peserta didik. Dalam kerangka ini, peserta didik membuat catatan, rekaman, atau mengingat dalam memori secara spontan atas subjek, objektif, atau situasi yang diobservasi.
Praktik observasi dalam pembelajaran hanya akan efektif jika peserta didik dan guru melengkapi diri dengan dengan alat-alat pencatatan dan alat-alat lain, seperti: (1) tape recorder, untuk merekam pembicaraan; (1) kamera, untuk merekam objek atau kegiatan secara visual; (2) film atau video, untuk merekam kegiatan objek atau secara audio-visual; dan (3) alat-alat lain sesuai dengan keperluan.
Secara lebih luas, alat atau instrumen yang digunakan dalam melakukan observasi, dapat berupa daftar cek (checklist), skala rentang (rating scale), catatan anekdotal (anecdotal record), catatan berkala, dan alat mekanikal (mechanical device). Daftar cek dapat berupa suatu daftar yang berisikan nama-nama subjek, objek, atau faktor- faktor yang akan diobservasi. Skala rentang , berupa alat untuk mencatat gejala atau fenomena menurut tingkatannya. Catatan anekdotal berupa catatan yang dibuat oleh peserta didik dan guru mengenai kelakuan-kelakuan luar biasa yang ditampilkan oleh subjek atau objek yang diobservasi.  Alat mekanikal berupa alat mekanik yang dapat dipakai untuk memotret atau merekam peristiwa-peristiwa tertentu yang ditampilkan oleh subjek atau objek yang diobservasi.
Prinsip-rinsip yang harus diperhatikan oleh guru dan peserta didik selama observasi pembelajaran disajikan berikut ini.
  • Cermat, objektif, dan jujur serta terfokus pada objek yang diobservasi untuk kepentingan pembelajaran.
  • Banyak atau sedikit serta homogenitas atau hiterogenitas subjek, objek, atau situasi yang diobservasi. Makin banyak dan hiterogen subjek, objek, atau situasi yang diobservasi, makin sulit kegiatan obervasi itu  dilakukan. Sebelum observasi dilaksanakan, guru dan peserta didik sebaiknya menentukan dan menyepakati cara dan prosedur pengamatan.
  • Guru dan peserta didik perlu memahami apa yang hendak dicatat, direkam, dan sejenisnya,  serta bagaimana membuat catatan atas perolehan observasi.
2.      MENANYA
Guru yang efektif mampu menginspirasi peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula dia membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru menjawab pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula dia mendorong asuhannya itu untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik.
Berbeda dengan penugasan yang menginginkan tindakan nyara, pertanyaan dimaksudkan untuk memperoleh tanggapan verbal. Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk “kalimat tanya”, melainkan juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya menginginkan tanggapan verbal.
Fungsi Bertanya: (1)Membangkitkan rasa ingin tahu, minat, dan perhatian  peserta didik tentang suatu tema atau topik pembelajaran; (2) Mendorong dan menginspirasi peserta didik untuk aktif belajar, serta mengembangkan pertanyaan dari dan untuk dirinya sendiri; (3) Mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik sekaligus menyampaikan ancangan untuk mencari solusinya; (4) Menstrukturkan tugas-tugas dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan sikap, keterampilan, dan pemahamannya atas substansi pembelajaran yang diberikan; (5) Membangkitkan keterampilan peserta didik dalam berbicara, mengajukan pertanyaan, dan memberi jawaban secara logis, sistematis, dan menggunakan bahasa yang baik dan benar; (6) Mendorong partisipasipeserta didik dalam berdiskusi, berargumen, mengembangkan kemampuan berpikir,  dan menarik  simpulan; (7) Membangun sikap keterbukaan untuk saling memberi dan menerima pendapat atau gagasan, memperkaya kosa kata, serta mengembangkan toleransi sosial dalam hidup berkelompok; (8) Membiasakan peserta didik berpikir spontan dan cepat, serta sigap dalam merespon persoalan yang tiba-tiba muncul; dan (9) Melatih kesantunan dalam berbicara dan membangkitkan kemampuan berempati satu sama lain.
Kriteria Pertanyaan yang Baik: (1) Singkat dan jelas; (2) Menginspirasi jawaban; (3) Memiliki fokus; (4) Bersifat probing atau divergen; (5) Bersifat validatif atau penguatan; (6) Memberi kesempatan peserta didik untuk berpikir ulang; (7) Merangsang peningkatan tuntutan kemampuan kognitif; (8) Merangsang proses interaksi.
3.      MENALAR
Istilah “menalar” dalam kerangka proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013 untuk menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif daripada guru. Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan.
Penalaran dimaksud merupakan penalaran ilmiah, meski penakaran nonilmiah tidak selalu tidak bermanfaat. Istilah menalar di sini merupakan padanan dari associating; bukan merupakan terjemanan dari reasonsing, meski istilah ini juga bermakna menalar atau penalaran. Karena itu, istilah aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran asosiatif. Istilah asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemamuan mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian memasukannya menjadi penggalan memori.
Selama mentransfer peristiwa-peristiwa khusus ke otak, pengalaman tersimpan dalam referensi dengan peristiwa lain. Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan di memori otak berelasi dan berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia. Proses itu dikenal sebagai asosiasi atau menalar. Dari persepektif psikologi, asosiasi merujuk pada koneksi antara entitas konseptual atau mental sebagai hasil dari kesamaan  antara pikiran atau kedekatan dalam ruang dan waktu.
Menurut teori asosiasi, proses pembelajaran akan berhasil secara efektif jika terjadi interaksi langsung antara pendidik dengan peserta didik. Pola ineraksi itu dilakukan melalui stimulus dan respons (S-R).  Teori ini dikembangan kerdasarkan hasil eksperimen Thorndike, yang kemudian dikenal dengan teori asosiasi. Jadi, prinsip dasar proses pembelajaran yang dianut oleh Thorndike adalah asosiasi, yang juga dikenal dengan teori Stimulus-Respon (S-R). Menurut Thorndike, proses pembelajaran, lebih khusus lagi proses belajar peserta didik terjadi secara perlahan atau inkremental/bertahap, bukan secara tiba-tiba. Thorndike mengemukakan berapa hukum dalam proses pembelajaran.
  • Hukum efek (The Law of Effect), di mana intensitas hubungan antara stimulus (S) dan respon (R) selama proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh konsekuensi dari hubungan yang terjadi. Jika akibat dari hubungan S-R itu dirasa menyenangkan, maka perilaku peserta didik akan mengalami penguatan. Sebaliknya, jika akibat hubungan S-R dirasa tidak menyenangkan, maka perilaku peserta didik akan melemah. Menurut Thorndike, efek dari reward (akibat yang menyenangkan) jauh lebih besar dalam memperkuat perilaku peserta didik dibandingkan efek punishment (akibat yang tidak menyenangkan) dalam memperlemah perilakunya. Ini bermakna bahwa reward akan meningkatkan perilaku peserta didik, tetapi punishment belum tentu akan mengurangi atau menghilangkan perilakunya.
  • Hukum latihan (The Law of Exercise). Awalnya, hukum ini terdiri dari duajenis, yang setelah tahun 1930 dinyatakan dicabut oleh Thorndike. Karena dia menyadari bahwa latihan saja tidak dapat memperkuat atau membentuk perilaku. Pertama, Law of Use yaitu hubungan antara S-R akan semakin kuat jika sering digunakan atau berulang-ulang. Kedua, Law of Disuse, yaitu hubungan antara S-R akan semakin melemah jika tidak dilatih atau dilakukan berulang-ulang.Menurut Thorndike, perilaku dapat dibentuk dengan menggunakan penguatan (reinforcement). Memang, latihan berulang tetap dapat diberikan, tetapi yang terpenting adalah individu menyadari konsekuensi perilakunya.
  • Hukum kesiapan (The Law of Readiness). Menurut Thorndike, pada prinsipnya apakah sesuatu itu akan menyenangkan atau tidak menyenangkan untuk dipelajari tergantung pada kesiapan belajar individunya. Dalam proses pembelajaran, hal ini bermakna bahwa jika peserta dalam keadaan siap dan belajar dilakukan, maka mereka akan merasa puas. Sebaliknya, jika pesert didik dalam keadaan tidak siap dan belajar terpaksa dilakukan, maka mereka akan merasa tidak puas bahkan mengalami frustrasi.
    Prinsip-prinsip dasar dari Thorndike kemudian diperluas oleh B.F. Skinner dalam Operant Conditioning atau pelaziman/pengkondisian operan. Pelaziman operan adalah bentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan diulangi.  Merujuk pada teori S-R, proses pembelajaran akan makin efektif jika peserta didik makin giat belajar. Dengan begitu, berarti makin tinggi pula kemampuannya dalam menghubungkan S dengan R.
4.      MENCOBA
Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata atau otentik, peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan, terutama untuk materi atau substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran IPA, misalnya,peserta didik harus memahami konsep-konsep IPA dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Peserta didik pun harus memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan tentang alam sekitar, serta mampu menggunakan metode ilmiah dan bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari.
Aplikasi metode eksperimen atau mencoba dimaksudkan untuk mengembangkan berbagai ranah tujuan belajar, yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Aktivitas pembelajaran yang nyata untuk ini adalah: (1) menentukan tema atau topik sesuai dengan kompetensi dasar menurut tuntutan kurikulum; (2) mempelajari cara-cara penggunaan alat dan bahan yang tersedia dan harus disediakan; (3)mempelajari dasar teoritis yang relevan dan hasil-hasil eksperimen sebelumnya; (4) melakukan dan mengamati percobaan; (5) mencatat fenomena yang terjadi, menganalisis, dan menyajikan data;(6) menarik simpulan atas hasil percobaan; dan (7)membuat laporan dan mengkomunikasikan hasil percobaan.
Agar pelaksanaan percobaan dapat berjalan lancar maka: (1) Guru hendaknya merumuskan tujuan eksperimen yanga akan dilaksanakan murid (2) Guru bersama murid mempersiapkan perlengkapan yang dipergunakan (3) Perlu memperhitungkan tempat dan waktu (4) Guru menyediakan kertas kerja untuk pengarahan kegiatan murid (5) Guru membicarakan masalah yanga akan yang akan dijadikan eksperimen (6) Membagi kertas kerja kepada murid (7) Murid melaksanakan eksperimen dengan bimbingan guru, dan (8) Guru mengumpulkan hasil kerja murid dan mengevaluasinya, bila dianggap perlu didiskusikan secara klasikal.
5.      JEJARING
Jejaring Pembelajaran disebut juga Pembelajaran Kolaboratif.  Apa yang dimaksud dengan pembelajaran kolaboratif? Pembelajaran kolaboratif merupakan suatu filsafat personal, lebih dari sekadar sekadar teknik pembelajaran di kelas-kelas sekolah. Kolaborasi esensinya merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia yang menempatkan dan memaknai kerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang secara baik dan disengaja rupa untuk memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Pada pembelajaran kolaboratif kewenangan guru fungsi guru lebih bersifat direktif atau manajer belajar, sebaliknya, peserta didiklah yang harus lebih aktif. Jika  pembelajaran kolaboratif diposisikan sebagai satu falsafah peribadi, maka ia menyentuh tentang identitas peserta didik terutama jika mereka berhubungan atau berinteraksi dengan yang lain atau guru. Dalam situasi kolaboratif itu, peserta didik berinteraksi dengan empati, saling menghormati, dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing. Dengan cara semacam ini akan tumbuh rasa aman, sehingga memungkin peserta didik menghadapi aneka perubahan dan tntutan belajar secara bersama-sama.
Ada empat sifat kelas atau pembelajaran kolaboratif.  Dua sifat berkenaan dengan perubahan hubungan antara guru dan peserta didik. Sifat ketiga berkaitan dengan pendekatan baru dari penyampaian guru selama proses pembelajaran. Sifat keempat menyatakan isi kelas atau pembelajaran kolaboratif.
  • Guru dan peserta didik saling berbagi informasi. Dengan pembelajaran kolaboratif,  peserta didik memiliki ruang gerak untuk menilai  dan membina ilmu pengetahuan, pengalaman personal, bahasa komunikasi, strategi dan konsep pembelajaran sesuai dengan teori, serta menautkan kondisi sosiobudaya dengan situasi pembelajaran. Di sini, peran guru lebih banyak sebagai pembimbing dan manajer belajar ketimbang memberi instruksi dan mengawasi secara rijid.
  • Berbagi tugas dan kewenangan. Pada pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berbagi tugas dan kewenangan dengan peserta didik, khususnya untuk hal-hal tertentu. Cara ini memungkinan peserta didik menimba pengalaman mereka sendiri,  berbagi strategi dan informasi, menghormati antarsesa, mendoorong tumbuhnya ide-ide cerdas, terlibat dalam pemikiran kreatif dan kritis serta memupuk dan menggalakkan mereka mengambil peran secara terbuka dan bermakna.
  • Guru sebagai mediator.  Pada pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berperan sebagai mediator atau perantara. Guru berperan membantu menghubungkan informasi  baru dengan pengalaman yang ada serta membantu peserta didik jika mereka mengalami kebutuan dan bersedia menunjukkan cara bagaimana mereka memiliki kesungguhan untuk belajar.
  • Kelompok peserta didik yang heterogen. Sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didk yang tumbuh dan berkembang sangat penting untuk memperkaya pembelajaran di kelas.  Pada kelas kolaboratif peserta didikdapat menunjukkan kemampuan dan keterampilan mereka, berbagi informasi,serta mendengar atau membahas sumbangan informasi dari peserta didik lainnya. Dengan cara seperti ini akan muncul “keseragaman” di dalam heterogenitas peserta didik.
  



DAFTAR BACAAN

Dany  & Nanik 2010.  Strategi Pembelajaran Holistik Di Sekolah, Jakarta :             Prestasi Pustakaraya.
Johnson,  Elaine  B.  2006.  Contextual  Teaching  & Learning, Bandung, MLC
Porter, B.,Readon, M., dan Nourie, S. S. 2003. Quantum Teaching: Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang -Ruang Kelas. Bandung:         Kaif
Sumantri,  M.N.  2001  “  Menggagas  Pembaharuan  Pendidik  IPS”.   PT.             Remaja Rosda Karya, Bandung.
Peter  G.  Cole  dan  Lorna  K.S.  Chan,  1990”  Methods  and  Strategis  for         Special Education” Prentice Hall odf Australia Pty Ltd.
Nurhidayati Budi Utami,  1996 “  Hubungan Conformitas Dengan Kreatifitas Dan            Motivasi Berprestasi Pada Siswa-siswi 1, 2 dan 3 SMU Ta‟miriah             Surabaya”. Skripsi Sarjana Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus      1945 Surabaya.
Alexandre, Dumas. 2003 “ California Departement Of Education”. www. apa.

jurnals. com.

1 komentar: