Helloooo teman !!!
beberapa waktu lalu sudah saya singgung mengenai Pengertian, pendekatan,model, strategi, teknik dalam pembelajaran. Tapi kali ini saya akan memfokuskan mengenai pendekatan dalam pembelajaran, ada apa saja sih pendekatan dalam pembelajaran????? CHECK it Out,,
PENDEKATAN QUANTUM
TEACHING, COOPERATIVE LEARNING. CONTEKSTUAL LEARNING, KONTRUKTIVISME DAN PENDEKATAN SCIENTIFIC
Quantum
Teaching
Pembelajaran
kuantum ( Quantum Teaching ) diciptakan berdasarkan teori teori pendidikan
seperti Accelerated Learning dari Lozanov, Multiple Intelegences dari Garder, Neuro-Linguistic Programming dari Grinder
dan Bandler, Experiental Learning dari Hahn, Socratic Inquiry ,
Cooperative Learning dari Johnson dan
Johnson, dan Element of
Effective Instruction dari Hanter
(Porter,
2003:4). Pembelajaran kuantum adalah pengubahan belajar yang meriah dengan
segala nuansanya. Kata quantum berart i interaksi yang mengubah energy
menjadi cahaya, dengan
demikian quantum teaching
adalah pengubahan bermacam-macam
interaksi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar.
Komponen-komponen
Pembelajaran Kuantum ( Quantum Teaching )
a.
Sintaks
Kerangka
rancangan pembelajaran kuantum dikenal dengan istilah TANDUR, yang di
dalamnya memiliki 6
tahap atau fase
yaitu Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, dan
Rayakan (Porter, 2003:88).
Menurut Bobbi
De Potter (2006:10)
kerangka pembelajaran
quantum dikenal dengan
TANDUR yang dapat diuraikan
sebagai berikut:
(1) Tumbuhkan,
Kegiatan ini
bertujuan agar siswa
terlibat secara aktif dalam
pembelajaran, menciptakan jalinan
dan kepemilikan bersama atau kemampuan saling memahami. Strategi yang
bisa dilakukan guru
antara lain dengan memberikan pertanyaan
tuntunan seperti :
hal apa yang siswa pahami, apa yang siswa setujui,
apakah manfaatnya bagiku (AMBAK). Guru
harus bisa menumbuhkan/ mengembangkan minat siswa
dan memberikan dorongan terhadap potensi
siswa yang dinamis,
menumbuhkan aktifitas dan daya cipta sehingga akan terjadi dinamika di
dalam proses belajar;
(2)
Alami,
Kegiatan ini
untuk memberikan pengalaman pada
siswa dan memanfaatkan keingintahuan siswa
. Proses pembelajaran
akan lebih bermakna jika
siswa mengalami secara
langsung materi yang diajarkan.
Strategi yang dapat
digunakan antara lain dengan
cara memberikan LKS
untuk kegiatan yang mengaktifkan pengetahuan yang sudah
dimiliki siswa;
(3)
Namai,
Fungsi dari
penamaan untuk memberikan identitas, mengurutkan
dan mendefinisikan apa
yang telah diajarkan. Penamaan
merupakan informasi, fakta, rumus,pemikiran, tempat,
dan saatnya guru
untuk mengajarkan konsep, ketrampilan
berfikir dan strategi belajar. Penamaan mampu memuaskan
hasrat alami otak untuk memberi identitas,
mengurutkan dan
mendefinisikan. Strategi yang
dapat digunakan untuk penamaan antara lain, susunan gambar,
warna alat bantu, kertas tulis dan
poster di dinding;
(4) Demontrasikan,
Kegiatan ini
untuk memberikan siswa
peluang menterjemahkan dan menerapkan
pengetahuan mereka dalam pembelajaran.
Demontrasi memberikan
kesempatan pada siswa
untuk membuat kaitan,
berlatih dan menunjukkan apa yang siswa
ketahui. Strategi yang dapat digunakan
yaitu menampilkan hasil
percobaan, penjabaran dalam
grafik, permainan dan sebagainya;
(5)
Ulangi,
Pengulangan berfungsi
untuk memperkuat koneksi syaraf
dengan materi yang
telah diajarkan. Hal ini menunjukkan bahwa siswa benar-benar tahu. Strategi yang dapat
digunakan antara lain
memberikan kesempatan bagi siswa
untuk mengajarkan pengetahuan siswa kepada
siswa lain dan
pengulangan bersama; dan
(6) Rayakan,
Perayaan merupakan
pengakuan untuk penyelesaian,
partisipasi untuk mendapatkan ketrampilan dan
ilmu pengetahuan dengan
menghormati usaha, ketekunan dan
kesuksesan juga untuk
menciptakan dan menumbuhkan keaktifan
siswa selama proses
belajar.
Strategi yang
dapat dilakukan misalnya
: tepuk tangan, pengakuan kekuatan,
pujian (perkataan bagus),
catatan pribadi, kejutan, persekongkolan, pernyataan
afirmasi atau perayaan yang mendukung.
b.
Prinsip Reaksi
Dalam pembelajaran
kuantum ada lima
prinsi p dasar yang mempengaruhi terciptanya lingkungan
belajar yang kondusif
(Porter, 2003:56).
Adapun kelima
prinsip dasar tersebut
adalah:
(1)
Prinsip segalanya berbicara
berarti seluruh lingkungan kelas membawa pesan ke pebelajar.
(2) Prinsip segalanya bertujuan berarti semua
pembelajaran haruslah mempunyai tujuan -tujuan yang jelas.
(3) Prinsip
pengalaman sebelum pemberian
nama berarti sebelum mendefinisikan, membedakan, siswa
terlebih dahulu telah memiliki atau telah diberikan pengalaman informasi yang
terkait dengan upaya pemb erian nama tersebut.
(4) Prinsip
akui setiap usaha
berarti apapun usaha
yang telah dilakukan siswa
haruslah mendapat pengakuan
dari guru maupun
siswa lainnya.
(5)
Prinsip jika layak dipelajari maka layak dirayakan berarti setiap usaha belajar
yang dilakukan layak
untuk dirayakan untuk
memberi umpan balik dan
meningkatkan asosiasi emosi positif dengan belajar.
c.
Sistem Sosial
Pembelajaran
kuantum dibangun berdasarkan asas “Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita,
dan Antarkan Dunia
Kita ke Dunia
Mereka” (Porter,200 3:6),
memberikan pengertian bahwa
hubungan antara guru
dengan siswa harus saling
mendukung. Guru memasuki
dunia siswa sebagai
upaya memperoleh ijin untuk
memimpin, menuntun, dan
memudahkan siswa untuk
memahami ilmu pengetahuan. Upaya ini dilakukan antara l ain dengan
mengaitkan secara langsung konsep
-konsep yang akan
dikaji dengan peristiwa
sehari -hari atau dari pengalaman
sehari -hari mereka. Dengan
pengertian yang lebih
luas dan mendalam berdasarkan
interaksi tersebut, siswa
akan dapat membawa
apa yang mereka pelajari
ke dalam dunia
mereka dan menerapkannya
dalam situasi baru.
Untuk mendukung
terciptanya komunitas belajar
yang efektif dan menyenangkan, maka dalam penerapan model
pembelajaran kuantum diperlukan beberapa
alat atau media
seperti kartu penghargaan, dan Lembar Keja
Siswa (LKS).
Melalui penerapan
pembelajaran kuantum, dampak
instruksional yang diperoleh adalah
siswa -siswa diharapkan memiliki
pemahaman konseptual yang memadai
terkait dengan konsep -konsep matematika
yang dipelajari. Dampak pengiring yang diperoleh
adalah nilai -nilai positif
dalam membangkitkan kesadaran
akan pengetahuan yang relevan dan sikap kritis siswa dalam belajar.
Contextual Teaching and
Learning
Pembelajaran kontekstual
(Contextual Teaching and Learning)
adalah konsep belajar
yang sangat membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi
dunia nyata siswa
dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan
mereka sehari-hari (Nanik &
Dany, 2010:72)
Pemikiran
tentang belajar pendekatan kontekstual
mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai
berikut,
(a) proses
belajar tidak hanya menghafal. Siswa
harus mengkontruksi pengetahuan
di benak ereka,
(b)
siswa belajar dan mengalami,
(c)
siswa mencatat sendiri pola-pola
bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu
saja oleh guru.
Menurut Johnson
(2006:21-22) ada delapan komponen utama dalam pembelajaran
kontekstual antara lain:
a. Melakukan hubungan
bermakna (making meaningful connection),
Siswa
dapat mengatur diri sendiri
sebagai orang yang
belajar secara aktif
dalam mengembangkan minatnya
secara indifidual, orang yang dapat bekerja
sendiri atau kelompok,
dan orang yang dapat
belajar sambil berbuat
(learning by doing);
(b)
Melakukan kegiatan- kegiatan yang signifikan (
doing significant work),
Siswa
melakukan pekerjaan yang signifikan : ada tujuan, ada urusannya
dengan orang lain, ada hubungannya dengan
penentuan pilihan, dan
ada produknya atau hasil
yang sifatnya nyata;
(c) Belajar yang
diatur sendiri ( self regulated
learning ),
Siswa
membuat hubungan-hubungan antara
sekolah dan berbagai konteks
yang ada dalam
kehidupan nyata sebagai pelaku
bisnis dan sebagai
anggota masyarakat;
(d) Bekerja sama ( collaborating ),
Siswa
dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja sama secara efektif
dalam kelompok, membantu
mereka memahami bagaimana mereka
saling mempengaruhi dan
saling berkomunikasi;
(e)
Berpikir kritis dan kreatif (
critical and creative thinking
),
Siswa dapat
menggunakan tingkat berfikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif
yaitu dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat
keputusan, dan menggunakan
logika dan bukti-bukti;
(f) Mengasuh
atau memelihara pribadi siswa
( nurturing the
individual ),
Siswa
memelihara pribadinya yaitu
mengetahui, memberi
perhatian, memiliki harapan-harapan yang
tinggi, memotivasi dan memperkuat
diri sendiri. Siswa menghormati temannya dan orang dewasa.
Namun siswa tidak akan berhasil
tanpa orang dewasa;
(g)
Mencapai Penerapan standar
yang tinggi (reaching
high standard),
Siswa mengenal
dan mencapai standar
yang tinggi yaitu mengidentifikasi tujuan
dan memotivasi siswa
untuk mencapainya dan
(h) Menggunakan
penilaian yang autentik (using
authentic assesment),
Gambaran
perkembangan pengalaman siswa
perlu diketahui guru setiap
saat agar bisa
memastikan benar tidaknya
proses belajar siswa Penilaian autentik memberikan kesempatan luas bagi
siswa untuk menunjukkan
apa yang telah mereka
pelajari selam proses
belajar mengajar. Adapun bentuk-bentuk penilaian yang dapat
digunakan oleh guru adalah portofolio, tugas
kelompok, demonstrasi, dan laporan tertulis.
Kooperatif
Cooperative Learning
(CL) secara etimologi
mempunyai arti belajar bersama antara dua orang atau lebih,
sedangkan CL dalam artian yang lebih luas
memiliki devinisi yang
antara lain adalah
belajar bersama yang melibatkan antara 4 – 5 orang, yang bekerja bersama menuju kelompok
kerja dimana tiap anggota
bertangungjawab secara individu
sebagai bagian dari hasil
yang tak akan
bisa dicapai tanpa
adanya kerjasama antar
kelompok. Dengan kata, anggota kelompok saling tergantung secara
positif. (Alexandre 2003).
Model pembelajaran
kooperatif merupakan suatu model
pembelajaran yang mengutamakan
adanya kelompok-kelompok. Setiap
siswa yang ada dalam kelompok mempunyai
tingkat kemampuan yang berbeda-beda (tinggi,
sedang dan rendah)
dan jika memungkinkan
anggota kelompok berasal dari
ras, budaya, suku
yang berbeda serta
memperhatikan kesetaraan jender. Model pembelajaran kooperatif
mengutamakan kerja sama dalam
menyelesaikan permasalahan untuk
menerapkan pengetahuan dan
keterampilan dalam rangka mencapai
tujuan pembelajaran.
Menurut Nur
(2000), semua model pembelajaran ditandai
dengan adanya struktur
tugas, struktur tujuan
dan struktur penghargaan.
Struktur tugas, struktur tujuan dan struktur penghargaan pada model pembelajaran kooperatif berbeda
dengan struktur tugas, struktur tujuan serta struktur penghargaan model
pembelajaran yang lain.
Dalam proses pembelajaran
dengan Paket Pembinaan Penataran model pembelajaran kooperatif, siswa
didorong untuk bekerja sama pada suatu tugas bersama dan mereka harus
mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan
guru.
Tujuan model
pembelajaran kooperatif adalah
hasil belajar akademik siswa
meningkat dan siswa
dapat menerima berbagai
keragaman dari temannya, serta
pengembangan keterampilan sosial.
Menurut
Nur (2000), prinsip dasar dalam pembelajaran kooperatif sebagai berikut.
1. Setiap
anggota kelompok (siswa)
bertanggung jawab atas
segala sesuatu yang dikerjakan dalam kelompoknya.
2. Setiap
anggota kelompok (siswa)
harus mengetahui bahwa
semua anggota kelompok mempunyai
tujuan yang sama.
3. Setiap anggota kelompok (siswa) harus membagi
tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompoknya.
4. Setiap anggota kelompok (siswa) akan dikenai
evaluasi.
5. Setiap
anggota kelompok (siswa)
berbagi kepemimpinan dan
membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya.
6. Setiap anggota kelompok (siswa) akan diminta
mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok
kooperatif.
Nur
(2000), ciri-ciri model pembelajaran kooperatif sebagai berikut.
1. Siswa
dalam kelompok secara
kooperatif menyelesaikan materi
belajar sesuai kompetensi dasar
yang akan dicapai.
2. Kelompok
dibentuk dari siswa
yang memiliki kemampuan
yang berbeda-beda,baik tingkat
kemampuan tinggi, sedang
dan rendah. Jika
mungkin anggota kelompok berasal
dari ras, budaya,
suku yang berbeda
serta memperhatikan kesetaraan
jender.
3. Penghargaan lebih menekankan pada kelompok
dari pada masing-masing individu. Dalam pembelajaran kooperatif dikembangkan
diskusi dan komunikasi dengan tujuan agar
siswa saling berbagi
kemampuan, saling belajar
berpikir kritis, saling menyampaikan pendapat,
saling memberi kesempatan
menyalurkan kemampuan, saling membantu
belajar, saling menilai kemampuan dan peranan diri sendiri maupun teman lain.
Beberapa
tipe model pembelajaran kooperatif yang dikemukakan oleh beberapa ahli
antara lain Slavin
(1985), Lazarowitz (1988)
atau Sharan (1990)
dalam Rachmadi (2006) sebagai
berikut.
1. Pembelajaran kooperatif Tipe Jigsaw.
Pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw ini pertama kali dikembangkan oleh Aronson dkk.
Langkah-langkah dalam penerapan jigsaw adalah sebagai berikut.
a. Guru
membagi suatu kelas
menjadi beberapa kelompok,
dengan setiap kelompok terdiri
dari 4 - 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda baik tingkat kemampuan
tinggi, sedang dan
rendah serta jika
mungkin anggota Paket Pembinaan
Penataran kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan
jender. Kelompok ini disebut
kelompok asal. Jumlah
anggota dalam kelompok
asal menyesuaikan dengan jumlah
bagian materi pelajaran
yang akan dipelajari siswa sesuai
dengan tujuan pembelajaran
yang akan dicapai.
Dalam tipe jigsaw
ini, setiap siswa
diberi tugas mempelajari
salah satu bagian
materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi
pembelajaran yang sama belajar bersama
dalam kelompok yang
disebut kelompok ahli
(Counterpart Group/CG).
Dalam
kelompok ahli siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama, serta
menyusun rencana bagaimana
menyampaikan kepada temannya jika
kembali ke kelompok
asal.
Setelah siswa
berdiskusi dalam kelompok
ahli maupun kelompok
asal, selanjutnya dilakukan presentasi
masing-masing kelompok atau
dilakukan pengundian salah satu
kelompok untuk menyajikan
hasil diskusi kelompok yang
telah dilakukan agar
guru dapat menyamakan
persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.
c. Guru memberikan kuis untuk siswa secara
individual.
d. Guru
memberikan penghargaan pada
kelompok melalui skor
penghargaan berdasarkan
perolehan nilai peningkatan
hasil belajar individual
dari skor dasar ke skor kuis
berikutnya (terkini).
e. Materi sebaiknya secara
alami dapat dibagi
menjadi beberapa bagian materi pembelajaran
f. Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan
jigsaw untuk belajar materi baru maka
perlu dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup
sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
2. Pembelajaran kooperatif tipe NHT (Number
Heads Together)
Pembelajaran kooperatif
tipe NHT dikembangkan
oleh Spencer Kagen
(1993). Pada umumnya NHT
digunakan untuk melibatkan
siswa dalam penguatan pemahaman pembelajaran
atau mengecek pemahaman
siswa terhadap materi pembelajaran.
Langkah-langkah
penerapan NHT:
a. Guru
menyampaikan materi pembelajaran
atau permasalahan kepada
siswa sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.
b. Guru
memberikan kuis secara
individual kepada siswa
untuk mendapatkan skor dasar atau
awal.
c. Guru membagi kelas dalam beberapa kelompok,
setiap kelompok terdiri dari 4–5 siswa, setiap anggota kelompok diberi nomor
atau nama.
d. Guru mengajukan permasalahan untuk dipecahkan
bersama dalam kelompok.
e.
Guru mengecek pemahaman siswa dengan menyebut salah satu nomor(nama) anggota
kelompok untuk menjawab. Jawaban salah satu siswa yang ditunjuk oleh guru
merupakan wakil jawaban dari kelompok.
f. Guru
memfasilitasi siswa dalam
membuat rangkuman, mengarahkan,
dan memberikan penegasan pada akhir pembelajaran.
g. Guru memberikan tes/kuis kepada siswa secara
individual
h.
Guru memberi penghargaan
pada kelompok melalui
skor penghargaan berdasarkan perolehan
nilai peningkatan hasil
belajar individual dari
skor dasar ke skor kuis berikutnya(terkini).
3. Pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student
Teams Achievement Divisions).
Pembelajaran
kooperatif tipe STAD dikembangkan oleh Slavin dkk.
Langkah-langkah
penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD:
a. Guru
menyampaikan materi pembelajaran
atau permasalahan kepada
siswa sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.
b. Guru
memberikan tes/kuis kepada
setiap siswa secara
individual sehingga akan
diperoleh skor awal.
c. Guru
membentuk beberapa kelompok.
Setiap kelompok terdiri
dari 4 – 5
siswa dengan kemampuan
yang berbeda-beda (tinggi,
sedang dan rendah). Jika mungkin anggota kelompok
berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan jender.
d. Bahan
materi yang telah
dipersiapkan didiskusikan dalam
kelompok untuk mencapai
kompetensi dasar. Pembelajaran kooperatif tipe STAD,biasanya digunakan untuk
penguatan pemahaman materi (Slavin, 1995).
e. Guru
memfasilitasi siswa dalam
membuat rangkuman, mengarahkan,
dan memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah dipelajari.
f. Guru memberikan tes/kuis kepada setiap siswa
secara individual.
g. Guru
memberi penghargaan pada
kelompok berdasarkan perolehan
nilai peningkatan hasil belajar
individual dari skor
dasar ke skor
kuis berikutnya (terkini).
4. Pembelajaran
kooperatif tipe TAI
(Team Assited Individualization atau
Team Accelarated Instruction)
Pembelajaran kooperatif
tipe TAI ini
dikembangkan oleh Slavin.
Tipe ini mengkombinasikan
keunggulan pembelajaran kooperatif
dan pembelajaran individual. Tipe
ini dirancang untuk
mengatasi kesulitan belajar
siswa secara individual. Oleh
karena itu kegiatan
pembelajarannya lebih banyak
digunakan untuk pemecahan masalah, ciri khas pada tipe TAI ini adalah
setiapsiswa secara individual belajar materi pembelajaran yang sudah
dipersiapkan oleh guru. Hasil belajar individual dibawa ke kelompok-kelompok
untuk didiskusikan dan saling dibahas
oleh anggota kelompok,
dan semua anggota
kelompok bertanggung jawab atas
keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab bersama.
Langkah-langkah
pmbelajaran kooperatif tipe TAI sebagai berikut.
a. Guru memberikan tugas kepada siswa untuk
mempelajari materi pembelajaran secara individual yang sudah dipersiapkan oleh
guru.
b. Guru
memberikan kuis secara
individual kepada siswa
untuk mendapatkan skor dasar atau
skor awal.
c. Guru
membentuk beberapa kelompok.
Setiap kelompok terdiri
dari 4 – 5 siswa dengan
kemampuan yang berbeda-beda
baik tingkat kemampuan (tinggi, sedang dan rendah) Jika
mungkin anggota kelompok berasal dari
ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan jender.
d. Hasil
belajar siswa secara
individual didiskusikan dalam
kelompok. Dalam diskusi kelompok,
setiap anggota kelompok saling memeriksa jawaban teman satu kelompok.
e. Guru
memfasilitasi siswa dalam
membuat rangkuman, mengarahkan,
dan memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah dipelajari.
f. Guru memberikan kuis kepada siswa secara
individual.
g. Guru
memberi penghargaan pada
kelompok berdasarkan perolehan
nilai peningkatan hasil belajar
individual dari skor
dasar ke skor
kuis berikutnya (terkini).
Dalam buku
(Peter G. and
Lorna K. 333;
1990), prosedur pendekatan cooperative
learning telah dijelaskan
ada 7 langkah.
Langkahlangkah tersebut yaitu :
1. Menetapkan
tujuan pembelajaran, aktifitas, dan penghargaan
Yaitu
membuat keputusan sejak awal tentang tujuan pembelajaran dan jenis aktifitas
yang sesuai dengan
mereka. Keputusan harus
dibuat tentang apakah tujuan pembelajar diambil dari domain kognitif
(dalam area keahlian akademis),
afektif (dalam area
sikap dan nilai),
atau domain psikomotor (keahlian
fisik). Tugas lain
adalah menanyakan keahlian yang
diperlukan untuk bekerjasama
untuk tujuan bersama kelompok (Johnson 1987). Penghargaan
itu sendiri perlu untuk dipilih. Kebanyakan guru lebih suka memilih penghargaan
yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan ekspektasi kelompok.
2. Komposisi kelompok.
Yaitu merupakan
bentuk praktek yang
baik untuk membentuk kelompok yang
terdiri dari seorang
siswa yang punya
kemampuan diatas rata-rata, dua sampai empat siswa dengan kemampuan rata-rata dan seorang
siswa dengan kemampuan
dibawah rata-rata atau
anakanak dengan kebutuhan khusus.
3. Kerjasama yang
efektif.
Yaitu dengan
cara menjelaskan kepada
siswa bagaimana cara anggota
kelompok harus bekerja
sama antara satu dengan
yang lainnya. Prosedur
untuk kerjasama yang
efektif harus dibuat secara
eksplisit. Kolaborasi diantara
siswa vital untuk kesuksesan prosedur ini.
4. Perilaku yang dapat diterima dan tidak dapat
diterima.
Guru harus memberikan
penjelasan secara tegas
tentang apa yang dapat
diterima dan yang
tidak dapat dieterima
dalam kelompok dan menetapkan peraturan
untuk pemfungsian kelompok
dengan tepat sebelum kelompok
mulai mengerjakan tugasnya.
5. Periode percobaan dan umpan balik.
Guru harus
memberikan umpan balik
kepada kelompok tentang kualitas kelompok
dan kinerja individu.
Penting bagi individu
untuk menerima umpan balik sejak awal.
6. Bantuan dari guru kepada siswa.
Guru atau
pengajar khusus harus
dipersiapkan untuk memberikan bantuan ekstra atau bantuan
tambahan kepada siswa yang mempunyai masalah
belajar ketika hal
itu diperlukan. Siswa
harus diberitahukan bagaimana dan
kapan mereka harus mencari bantuan tersebut.
7.
Melakukan evaluasi.
Guru harus
melakukan evaluasi tentang
prosedur pembelajaran
cooperative learning. Kebanyakan
guru ingin memberikan
pertanyaan yang lebih tepat/teliti
tentang evaluasi. Kualitas
hasil dan jumlah waktu
yang diperlukan untuk
pembentukan kelompok perlu dipertimbangkan. Penelitian
dan pengalaman praktis
cenderung menunjukkan bahwa guru pada umumnya mendukung metode ini dan
bahwa hasil pembelajaran
akan menjustifikasi penggunaan
mereka. (Slavin, 1987b).
Keuntungan
Metode Cooperative Learning
Banyak pihak
yang mengklaim bahwa
kerja sama mempunyai keuntungan atas
persaingan dalam situasi
pembelajaran atau situasi belajar. Deutsch
(1949), Shaw (1976)
serta Johnson (1985;
1987) telah mengindentifikasi beberapa
keuntungan ketika pembelajaran
cooperative learning
diterapkan dengan baik.
Pertama, siswa
dalam kelompok kooperatif mampu
bekerja sama untuk
kebaikan kelompok secara keseluruhan ketimbang
hanya untuk kebutuhan
individu saja.
Kedua,
siswa dalam kelompok
pembelajaran kooperatif dapat
didorong untuk membantu siswa
yang mempunyai masalah
dalam belajar atau membantu
siswa yang cacat.
Ketiga, prosedur
pembelajaran kooperatif
memudahkan integrasi sosial dari kebutuhan khusus siswa. Akibat yang
dihasilkan adalah sikap
yang lebih toleran
kepada mereka yang mempunyai perbedaan
dalam hal kemampuan,
latar belakang sosial, kelas
sosial, ras dan
latar belakang akademis.
Keempat, metode pembelajaran kooperatif
dapat digunakan untuk
meyediakan penghargaan atau reward
baik kepada siswa
berprestasi tinggi maupun siswa
berprestasi rendah. Kelima,
pembelajaran cooperatif learningmemudahkan pembagian
usaha dan tugas
yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan
individu. Siswa dapat
diminta untuk menjalankan tugas di area yang paling mereka
ketahui atau menyelesaikan tugas yang paling sesuai dengan kemampuan
individualnya. Keenam, pembelajaran
kooperatif mendorong kemunikasi
antar siswa, dan
hasilnya adalah pembelajaran yang
lebih baik dan
hubungan antar personal
yang semakin membaik. (Peter G. and Lorna K. 327; 1990).
c. Pendekatan Cooperative Learning dalam
Pembelajaran IPS
Kerjasama yang dilandasi
dengan pemikiran studi
sosial yang diwujudkan dalam
pembelajaran yang menggunakan
pendekatan CL merupakan pemikiran
yang sangat penting
dalam pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS). Pendidikan IPS
di sekolah merupakan suatu penyederhanaan disiplin-disiplin ilmu-ilmu
sosial (seperti, ekonomi, antropologi, sosiologi,
sejarah politik dan
geografi), psikologi, filsafat ideologi negara
dan agama yang
diorganisasikan secara ilmiah
dan psikologi untuk tujuan
pendidikan (Soemantri; 2001).
Dengan demikian maka mata
pelajaran IPS yang
memiliki kaitan erat
dengan berbagai disiplin ilmu
tentunya memiliki peranan
yang cukup penting
dalam membentuk individu yang
mampu berpartisipasi dan
memberikan sumbangan pada komunitasnya,
masyarakatnya dan bangsa
di mana peningkatan kelangsungan
hidup, kemajuan dan
peningkatan pribadi terbentuk.
Tanpa adanya kerjasama yang efektif dengan orang lain, maka hal tersebut
tentunya akan sulit
di wujudkan. Suatu
komunitas, masyarakat dan bangsa
tidak dapat eksis
berlangsung lama kecuali apabila individu
– individu tidak
memiliki kemampuan untuk bekerjasama dengan
orang lain. Beberapa
hasil penilitian menunjukkan bahwa pada
umumya orang kehilangan
pekerjaan dan gagal
dalam berkarya karena kurang
memiliki kemampuan interpersonal
skill atau kemampuan kerjasama
dengan orang lain. ( Ellis dan Whalen; 1990).
Oleh
karena itu maka para pendidik IPS memiliki tanggungjawab dalam membantu
siswa untuk memperoleh
kemampuan berpartisipasi dan berkerjasama
secara efektif di
dalam setting sosial
dan masyarakat. Tanggungjawab tersebut
akan dapat terlaksana
secara efektif apabila pendidik IPS menerapkan proses
pembelajaran melalui pendekatan Cooperative Learning (CL). Oleh
karenanya pemahaman para pendidik IPS tentang CL dalam kontek pendidikan IPS
sangat penting.
Konstruktivisme
Model
pembelajaran konstruktivisme adalah
salah satu pandangan
tentang proses pembelajaran
yang menyatakan bahwa
dalam proses belajar
(perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif.
Konflik kognitif ini hanya dapat
diatasi melalui pengetahuan
akan dibangun sendiri
oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interaksi
dengan lingkungannya.
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa
dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan.
Merekalah yang harus aktif mengembangkan
pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus
bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara
aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu
mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Belajar lebih diarahkan pada experimental learning
yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di
laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan
dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik
dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran
konstruktivistik, yaitu:
(1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam
kontek yang relevan,
(2) mengutamakan proses,
(3) menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman
social,
(4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi
pengalaman.
Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks &
Brooks dalam Degeng mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat
temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat
sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif,
dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar
termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar
ini maka si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan
tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam
menginterpretasikannya.
Aspek-aspek
Pembelajaran Konstruktivisme
Fornot
mengemukakan aaspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi (adaptation),
konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan
makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J.
Piaget bermakna yaitu adaptasi terhadap
lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi
adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep
ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam
pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan
dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah
ada. Proses asimilasi ini berjalan
terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan
perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam
mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru perngertian
orang itu berkembang.
Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman
baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata
yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok
dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi.
Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang
baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan
itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan
akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan
adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan
(disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan
struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang
baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang
keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium).
Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang
lebih tinggi daripada sebelumnya.
Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini
oleh Vygotskian disebutnya sebagai scaffolding. Scaffolding, berarti
membrikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap
awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan
kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin
besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan
pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke
dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan
tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu
1.
siswa mencapai keberhasilan dengan baik,
2.
siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan,
3.
siswa gagal meraih keberhasilan.
Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam
upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian
siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum.
Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan
dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat
disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan memalui
adaptasi intelektual dalam konteks social budaya. Proses penyesuaian itu equivalent
dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui
proses regulasi diri internal. Dalam
hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan
teknik saling tukar gagasan antar individual.
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky
adalah:
1.
mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi
social yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada
tukar menukar informasi dan pengetahuan,
2.
zona of proximal development.
Pembelajar
sebagai mediator memiliki peran
mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan,
pengertian dan kompetensi.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada
hakikat pembelajaran sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan
interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan
penekanannya pada lingkungan social pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, funsi
kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam
konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa
bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut
masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of
proximal development mereka. Zona
of proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan
sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara
mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih
mampu. Pengetahuan berjenjang tersebut seperti pada sekema berikut.
Keuntungan
dan kelemahan dalam
menggunakan model konstruktivisme
Dalam penggunaan model konstruktivisme terdapat
keuntungan yaitu :
1. Dapat memberikan
kemudahan kepada siswa
dalam mempelajari konsep IPA.
2. Melatih siswa
berfikir kritis dan kreatif.
Adapun kelemahan pembelajaran konstruktivisme adalah :
1. Siswa
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi
siswa tidak cocok
dengan hasil konstruksi
para ilmuan sehingga menyebabkan miskonsepsi.
2.
Konstruktivisme
menanamkan agar siswa
membangun pengetahuannya
sendiri, hal ini
pasti membutuhkan waktu
yang lama dan setiap
siswa memerlukan pen anganan
yang berbedabeda.
3. Situasi dan
kondisi tiap sekolah
tidak sama, karena
tidak semua sekolah memiliki
sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas siswa.
Pendekatan Scientific
Pendekatan ilmiah berarti konep
dasar yang menginspirasi atau melatarbelakangi perumusan metode mengajar dengan
menerapkan karakteristik yang ilmiah. Pendekatan pembelajaran ilmiah (scientific
teaching) merupakan bagian dari pendekatan pedagogis pada pelaksanaan
pembelajaran dalam kelas yang melandasi penerapan metode ilmiah.
Pengertian penerapan pendekatan ilmiah dalam pembelajaran
tidak hanya fokus pada bagaimana mengembangkan kompetensi siswa dalam melakukan
observasi atau eksperimen, namun bagaimana mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan berpikir sehingga dapat mendukung aktivitas kreatif dalam
berinovasi atau berkarya.
Menurut majalah Forum Kebijakan Ilmiah yang terbit di Amerika pada
tahun 2004 sebagaimana dikutip Wikipedia menyatakan bahwa pembelajaran
ilmiah mencakup strategi pembelajaran siswa aktif yang mengintegrasikan siswa
dalam proses berpikir dan penggunaan metode yang teruji secara ilmiah sehingga
dapat membedakan kemampuan siswa yang bervariasi. Penerapan metode ilmiah
membantu guru mengindentifikasi perbedaan kemampuan siswa.
Pada penerbitan berikutnya pada tahun 2007 dinyatakan
bahwa penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran harus memenuhi
tiga prinsip utama; yaitu:
·
Belajar siswa aktif, dalam hal ini termasuk inquiry-based learning atau belajar berbasis
penelitian, cooperative learning atau
belajar berkelompok, dan belajar berpusat pada siswa.
·
Assessment berarti pengukuran kemajuan belajar siswa yang
dibandingkan dengan target pencapaian tujuan belajar.
·
Keberagaman mengandung makna bahwa dalam pendekatan ilmiah mengembangkan
pendekatan keragaman. Pendekatan ini membawa konsekuensi siswa unik,
kelompok siswa unik, termasuk keunikan dari kompetensi, materi, instruktur,
pendekatan dan metode mengajar, serta konteks.
Banyak para ahli yang meyakini bahwa
melalui pendekatan saintifik/ilmiah, selain dapat menjadikan siswa lebih aktif
dalam mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya, juga dapat mendorong
siswa untuk melakukan penyelidikan guna menemukan fakta-fakta dari suatu
fenomena atau kejadian. Artinya, dalam proses pembelajaran, siswa dibelajarkan
dan dibiasakan untuk menemukan kebenaran ilmiah, bukan diajak untuk beropini
apalagi fitnah dalam melihat suatu fenomena. Mereka dilatih untuk mampu berfikir
logis, runut dan sistematis, dengan menggunakan kapasistas berfikir tingkat
tinggi (High Order Thingking/HOT). Combie White (1997) dalam
bukunya yang berjudul “Curriculum Innovation; A Celebration of
Classroom Practice” telah mengingatkan kita tentang pentingnya
membelajarkan para siswa tentang fakta-fakta. “Tidak ada yang lebih penting,
selain fakta“, demikian ungkapnya.
Penerapan pendekatan
saintifik/ilmiah dalam pembelajaran menuntut adanya perubahan setting dan bentuk
pembelajaran tersendiri yang berbeda dengan pembelajaran konvensional. Beberapa
metode pembelajaran yang dipandang sejalan dengan prinsip-prinsip pendekatan
saintifik/ilmiah, antara lain metode: (1) Problem Based Learning;
(2) Project Based Learning; (3) Inkuiri/Inkuiri Sosial;
dan (4) Group Investigation.
Metode-metode ini berusaha membelajarkan siswa untuk mengenal masalah,
merumuskan masalah, mencari solusi atau menguji jawaban sementara
atas suatu masalah/pertanyaan dengan melakukan penyelidikan (menemukan
fakta-fakta melalui penginderaan), pada akhirnya dapat menarik kesimpulan dan
menyajikannya secara lisan maupun tulisan.
Pendekatan
Saintifik-Ilmiah
Apakah pendekatan saintifik/ilmiah
dengan langkah-langkah seperti dikemukakan di atas bisa diterapkan di semua
jenjang pendidikan? Jawabannya tentu akan menjadi perdebatan keilmuan,
tetapi saya memegang
satu teori yang sudah kita kenal yaitu Teori Perkembangan Kognitif dari Piaget
yang mengatakan bahwa mulai usia 11 tahun hingga dewasa (tahap
formal-operasional), seorang individu telah memiliki kemampuan
mengkoordinasikan baik secara simultan maupun berurutan dua ragam kemampuan
kognitif yaitu: (1) Kapasitas menggunakan hipotesis; kemampuan berfikir
mengenai sesuatu khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan menggunakan
anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang dia respons; dan (2)
Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak; kemampuan untuk mempelajari
materi-materi pelajaran yang abstrak secara luas dan mendalam.
Dengan demikian, tampaknya pendekatan saintifik/ilmiah dalam pembelajaran sangat
mungkin untuk diberikan mulai pada usia tahapan ini. Tentu saja, harus
dilakukan secara bertahap, dimulai dari penggunaan hipotesis dan berfikir
abstrak yang sederhana, kemudian seiring dengan perkembangan kemampuan
berfikirnya dapat ditingkatkan dengan menggunakan hipotesis dan berfikir
abstrak yang lebih kompleks.
Sementara itu, Kemendikbud (2013)
memberikan konsepsi tersendiri bahwa pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran didalamnya
mencakup komponen: mengamati, menanya, mencoba,
mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta. Komponen-komponen tersebut seyogyanya
dapat dimunculkan dalam setiap praktik pembelajaran, tetapi bukanlah
sebuah siklus pembelajaran. Untuk lebih jelasnya tentang pendekatan ilmiah
versi Kemendikbud ini Anda bisa melihatnya melalui file yang bisa Anda unduh di
bawah ini:
Kaidah-kaidah Pendekatan Saintifik
dalam Pembelajaran
Penggunaan Pendekatan saintifik
dalam pembelajaran harus dipandu dengan kaida-kaidah pendekatan ilmiah.
Pendekatan ini bercirikan penonjolan dimensi pengamatan, penalaran, penemuan,
pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu kebenaran. Dengan demikian, proses
pembelajaran harus dilaksanakan dengan dipandu nilai-nilai, prinsip-prinsip,
atau kriteria ilmiah. Proses pembelajaran disebut ilmiah jika memenuhi kriteria
seperti berikut ini.
Pertama: Substansi atau materi pembelajaran
berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau
penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng
semata.
- Penjelasan
guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif guru-peserta didik
terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau
penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
- Mendorong
dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analitis, dan
tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan
mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran.
- Mendorong
dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik dalam melihat
perbedaan, kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain dari substansi atau
materi pembelajaran.
- Mendorong
dan menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan
mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon
substansi atau materi pembelajaran.
- Berbasis
pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapatdipertanggung-jawabkan.
- Tujuan
pembelajaran dirumuskan secara sederhana, jelas, dan
menarik sistem penyajiannya.
Kedua: Proses pembelajaran harus
terhindar dari sifat-sifat atau nilai-nilai nonilmiah yang meliputi intuisi,
akal sehat, prasangka, penemuan melalui coba-coba, dan asal berpikir kritis.
- Intuisi.
Intuisi sering dimaknai sebagai kecakapan praktis yang kemunculannya
bersifat irasional dan individual. Intuisi juga bermakna kemampuan tingkat
tinggi yang dimiliki oleh seseorang atas dasar pengalaman dan kecakapannya.
Istilah ini sering juga dipahami sebagai penilaian terhadap sikap,
pengetahuan, dan keterampilan secara cepat dan berjalan dengan sendirinya.
Kemampuan intuitif itu biasanya didapat secara cepat tanpa melalui proses
panjang dan tanpa disadari. Namun demikian, intuisi sama sekali menafikan
dimensi alur pikir yang sistemik.
- Akal
sehat. Guru dan peserta didik harus menggunakan akal sehat selama proses
pembelajaran, karena memang hal itu dapat menunjukan ranah sikap,
keterampilan, dan pengetahuan yang benar. Namun demikian, jika guru dan
peserta didik hanya semata-mata menggunakan akal sehat dapat pula
menyesatkanmereka dalam proses dan pencapaian tujuan pembelajaran.
- Prasangka.
Sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang diperoleh semata-mata atas dasar
akal sehat (comon sense) umumnya sangat kuat dipandu kepentingan seseorang
(guru, peserta didik, dan sejenisnya) yang menjadi pelakunya. Ketika akal
sehat terlalu kuat didomplengi kepentingan pelakunya, seringkali mereka
menjeneralisasi hal-hal khusus menjadi terlalu luas. Hal inilah yang
menyebabkan penggunaan akal sehat berubah menjadi prasangka atau pemikiran
skeptis. Berpikir skeptis atau prasangka itu memang penting, jika diolah
secara baik. Sebaliknya akan berubah menjadi prasangka buruk atau sikap
tidak percaya, jika diwarnai oleh kepentingan subjektif guru dan peserta
didik.
- Penemuan
coba-coba. Tindakan atau aksi coba-coba seringkali melahirkan wujud
atau temuan yang bermakna. Namun demikian, keterampilan dan pengetahuan
yang ditemukan dengan caracoba-coba selalu bersifat tidak terkontrol,
tidak memiliki kepastian, dan tidak bersistematika baku. Tentu saja,
tindakan coba-coba itu ada manfaatnya bahkan mampu mendorong
kreatifitas.Karena itu, kalau memang tindakan coba-coba ini akan
dilakukan, harus diserta dengan pencatatan atas setiap tindakan, sampai
dengan menemukan kepastian jawaban. Misalnya, seorang peserta didik
mencoba meraba-raba tombol-tombol sebuah komputer laptop, tiba-tiba dia
kaget komputer laptop itu menyala. Peserta didik pun melihat lambang
tombol yang menyebabkan komputer laptop itu menyala dan mengulangi lagi
tindakannya, hingga dia sampai pada kepastian jawaban atas tombol dengan
lambang seperti apa yang bisa memastikan bahwa komputer laptop itu
bisa menyala.
- Asal
Berpikir Kritis. Kamampuan berpikir kritis itu ada pada semua orang,
khususnya mereka yang normal hingga jenius. Secara akademik diyakini bahwa
pemikiran kritis itu umumnya dimiliki oleh orang yang bependidikan tinggi.
Orang seperti ini biasanya pemikirannya dipercaya benar oleh banyak orang.
Tentu saja hasil pemikirannya itu tidak semuanya benar, karena bukan
berdasarkan hasil esperimen yang valid dan reliabel, karena pendapatnya
itu hanya didasari atas pikiran yang logis semata.
Langkah-langkah Pembelajaran
Saintifik
Pembelajaran saintifik terdiri atas lima langkah,
yaitu Observing (mengamati), Questioning
(menanya), Associating (menalar),Experimenting (mencoba), Networking (membentuk
Jejaring/ mengkomunikasikan), seperti tampak pada gambar berikut.
1.
MENGAMATI
Mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull
learning). Mengamati memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan
media obyek secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah
pelaksanaannya. Tentu saja kegiatan mengamati dalam rangka pembelajaran ini
biasanya memerlukan waktu persiapan yang lama dan matang, biaya dan tenaga
relatif banyak, dan jika tidak terkendali akan mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran.
Mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu
peserta didik. Sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi.
Dengan metode observasi peserta didik menemukan fakta bahwa ada hubungan antara
obyek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang digunakan oleh guru.
Kegiatan mengamati dalam pembelajaran dilakukan dengan
menempuh langkah-langkah seperti berikut ini.
- Menentukan
objek apa yang akan diobservasi
- Membuat
pedoman observasi sesuai dengan lingkup objek yang akan diobservasi
- Menentukan
secara jelas data-data apa yang perlu diobservasi, baik primer
maupun sekunder
- Menentukan
di mana tempat objek yang akan diobservasi
- Menentukan
secara jelas bagaimana observasi akan dilakukan untuk mengumpulkan data
agar berjalan mudah dan lancar
- Menentukan
cara dan melakukan pencatatan atas hasil observasi , seperti menggunakan
buku catatan, kamera, tape recorder, video perekam, dan alat-alat tulis
lainnya.
Kegiatan observasi dalam proses pembelajaran
meniscayakan keterlibatan peserta didik secara langsung. Dalam kaitan ini, guru
harus memahami bentuk keterlibatan peserta didik dalam observasi tersebut.
- Observasi
biasa (common observation). Pada observasi biasa untuk kepentingan
pembelajaran, peserta didik merupakan subjek yang sepenuhnya melakukan
observasi (complete observer). Di sini peserta didik sama sekali
tidak melibatkan diri dengan pelaku, objek, atau situasi yang diamati.
- Observasi
terkendali (controlled observation). Seperti halnya observasi
biasa, pada observasi terkendali untuk kepentingan pembelajaran, peserta
didik sama sekali tidak melibatkan diri dengan pelaku, objek, atau situasi
yang diamati. Mereka juga tidak memiliki hubungan apa pun dengan pelaku,
objek, atau situasi yang diamati. Namun demikian, berbeda dengan observasi
biasa, pada observasi terkendali pelaku atau objek yang diamati
ditempatkan pada ruang atau situasi yang dikhususkan. Karena itu, pada
pembelajaran dengan observasi terkendali termuat nilai-nilai percobaan
atau eksperimen atas diri pelaku atau objek yang diobservasi.
- Observasi
partisipatif (participant observation). Pada observasi
partisipatif, peserta didik melibatkan diri secara langsung dengan pelaku
atau objek yang diamati. Sejatinya, observasi semacam ini paling lazim
dilakukan dalam penelitian antropologi khususnya etnografi. Observasi
semacam ini mengharuskan peserta didik melibatkan diri pada pelaku,
komunitas, atau objek yang diamati. Di bidang pengajaran bahasa, misalnya,
dengan menggunakan pendekatan ini berarti peserta didik hadir dan
“bermukim” langsung di tempat subjek atau komunitas tertentu dan pada
waktu tertentu pula untuk mempelajari bahasa atau dialek setempat,
termasuk melibatkan diri secara langsung dalam situasi kehidupan mereka.
Selama proses pembelajaran, peserta didik dapat melakukan
observasi dengan dua cara pelibatan diri. Kedua cara pelibatan dimaksud
yaitu observasi berstruktur dan observasi tidak berstruktur, seperti dijelaskan
berikut ini.
- Observasi
berstruktur. Pada observasi berstruktur dalam rangka proses pembelajaran,
fenomena subjek, objek, atau situasi apa yang ingin diobservasi oleh
peserta didik telah direncanakan oleh secara sistematis di bawah bimbingan
guru.
- Observasi
tidak berstruktur. Pada observasi yang tidak berstruktur dalam rangka
proses pembelajaran, tidak ditentukan secara baku atau rijid mengenai apa
yang harus diobservasi oleh peserta didik. Dalam kerangka ini, peserta
didik membuat catatan, rekaman, atau mengingat dalam memori secara spontan
atas subjek, objektif, atau situasi yang diobservasi.
Praktik observasi dalam pembelajaran hanya akan efektif jika
peserta didik dan guru melengkapi diri dengan dengan alat-alat pencatatan dan
alat-alat lain, seperti: (1) tape recorder, untuk merekam pembicaraan; (1)
kamera, untuk merekam objek atau kegiatan secara visual; (2) film atau video,
untuk merekam kegiatan objek atau secara audio-visual; dan (3) alat-alat lain
sesuai dengan keperluan.
Secara lebih luas, alat atau instrumen yang digunakan dalam
melakukan observasi, dapat berupa daftar cek (checklist), skala rentang
(rating scale), catatan anekdotal (anecdotal record), catatan
berkala, dan alat mekanikal (mechanical device). Daftar cek dapat berupa suatu
daftar yang berisikan nama-nama subjek, objek, atau faktor- faktor yang akan
diobservasi. Skala rentang , berupa alat untuk mencatat gejala atau fenomena
menurut tingkatannya. Catatan anekdotal berupa catatan yang dibuat oleh peserta
didik dan guru mengenai kelakuan-kelakuan luar biasa yang ditampilkan oleh
subjek atau objek yang diobservasi. Alat mekanikal berupa alat mekanik
yang dapat dipakai untuk memotret atau merekam peristiwa-peristiwa tertentu
yang ditampilkan oleh subjek atau objek yang diobservasi.
Prinsip-rinsip yang harus diperhatikan oleh guru dan peserta
didik selama observasi pembelajaran disajikan berikut ini.
- Cermat,
objektif, dan jujur serta terfokus pada objek yang diobservasi untuk
kepentingan pembelajaran.
- Banyak
atau sedikit serta homogenitas atau hiterogenitas subjek, objek, atau
situasi yang diobservasi. Makin banyak dan hiterogen subjek, objek, atau
situasi yang diobservasi, makin sulit kegiatan obervasi itu
dilakukan. Sebelum observasi dilaksanakan, guru dan peserta didik
sebaiknya menentukan dan menyepakati cara dan prosedur pengamatan.
- Guru
dan peserta didik perlu memahami apa yang hendak dicatat, direkam, dan
sejenisnya, serta bagaimana membuat catatan atas perolehan
observasi.
2.
MENANYA
Guru yang efektif mampu menginspirasi peserta didik untuk
meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuannya.
Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula dia membimbing atau memandu peserta
didiknya belajar dengan baik. Ketika guru menjawab pertanyaan peserta didiknya,
ketika itu pula dia mendorong asuhannya itu untuk menjadi penyimak dan
pembelajar yang baik.
Berbeda dengan penugasan yang menginginkan tindakan nyara,
pertanyaan dimaksudkan untuk memperoleh tanggapan verbal. Istilah “pertanyaan”
tidak selalu dalam bentuk “kalimat tanya”, melainkan juga dapat dalam bentuk
pernyataan, asalkan keduanya menginginkan tanggapan verbal.
Fungsi Bertanya: (1)Membangkitkan rasa ingin tahu, minat,
dan perhatian peserta didik tentang suatu tema atau topik pembelajaran;
(2) Mendorong dan menginspirasi peserta didik untuk aktif belajar, serta
mengembangkan pertanyaan dari dan untuk dirinya sendiri; (3) Mendiagnosis
kesulitan belajar peserta didik sekaligus menyampaikan ancangan untuk mencari
solusinya; (4) Menstrukturkan tugas-tugas dan memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk menunjukkan sikap, keterampilan, dan pemahamannya atas
substansi pembelajaran yang diberikan; (5) Membangkitkan keterampilan peserta
didik dalam berbicara, mengajukan pertanyaan, dan memberi jawaban secara logis,
sistematis, dan menggunakan bahasa yang baik dan benar; (6) Mendorong
partisipasipeserta didik dalam berdiskusi, berargumen, mengembangkan kemampuan
berpikir, dan menarik simpulan; (7) Membangun sikap keterbukaan
untuk saling memberi dan menerima pendapat atau gagasan, memperkaya kosa kata,
serta mengembangkan toleransi sosial dalam hidup berkelompok; (8) Membiasakan
peserta didik berpikir spontan dan cepat, serta sigap dalam merespon persoalan
yang tiba-tiba muncul; dan (9) Melatih kesantunan dalam berbicara dan
membangkitkan kemampuan berempati satu sama lain.
Kriteria Pertanyaan yang Baik: (1) Singkat dan jelas; (2)
Menginspirasi jawaban; (3) Memiliki fokus; (4) Bersifat probing atau divergen;
(5) Bersifat validatif atau penguatan; (6) Memberi kesempatan peserta didik
untuk berpikir ulang; (7) Merangsang peningkatan tuntutan kemampuan kognitif;
(8) Merangsang proses interaksi.
3.
MENALAR
Istilah “menalar” dalam kerangka proses pembelajaran dengan
pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013 untuk menggambarkan bahwa
guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam banyak
hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif daripada guru. Penalaran adalah
proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat
diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan.
Penalaran dimaksud merupakan penalaran ilmiah, meski
penakaran nonilmiah tidak selalu tidak bermanfaat. Istilah menalar di sini
merupakan padanan dari associating; bukan merupakan terjemanan dari reasonsing,
meski istilah ini juga bermakna menalar atau penalaran. Karena itu, istilah
aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013 dengan
pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran
asosiatif. Istilah asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemamuan
mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian
memasukannya menjadi penggalan memori.
Selama mentransfer peristiwa-peristiwa khusus ke otak,
pengalaman tersimpan dalam referensi dengan peristiwa lain.
Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan di memori otak berelasi dan
berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia. Proses itu
dikenal sebagai asosiasi atau menalar. Dari persepektif psikologi, asosiasi
merujuk pada koneksi antara entitas konseptual atau mental sebagai hasil dari
kesamaan antara pikiran atau kedekatan dalam ruang dan waktu.
Menurut teori asosiasi, proses pembelajaran akan berhasil
secara efektif jika terjadi interaksi langsung antara pendidik dengan peserta
didik. Pola ineraksi itu dilakukan melalui stimulus dan respons (S-R).
Teori ini dikembangan kerdasarkan hasil eksperimen Thorndike, yang kemudian
dikenal dengan teori asosiasi. Jadi, prinsip dasar proses pembelajaran yang
dianut oleh Thorndike adalah asosiasi, yang juga dikenal dengan teori
Stimulus-Respon (S-R). Menurut Thorndike, proses pembelajaran, lebih khusus
lagi proses belajar peserta didik terjadi secara perlahan atau
inkremental/bertahap, bukan secara tiba-tiba. Thorndike mengemukakan berapa
hukum dalam proses pembelajaran.
- Hukum
efek (The Law of Effect), di mana intensitas hubungan antara stimulus (S)
dan respon (R) selama proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh
konsekuensi dari hubungan yang terjadi. Jika akibat dari hubungan S-R itu
dirasa menyenangkan, maka perilaku peserta didik akan mengalami penguatan.
Sebaliknya, jika akibat hubungan S-R dirasa tidak menyenangkan, maka
perilaku peserta didik akan melemah. Menurut Thorndike, efek dari reward
(akibat yang menyenangkan) jauh lebih besar dalam memperkuat perilaku
peserta didik dibandingkan efek punishment (akibat yang tidak
menyenangkan) dalam memperlemah perilakunya. Ini bermakna bahwa reward
akan meningkatkan perilaku peserta didik, tetapi punishment belum tentu
akan mengurangi atau menghilangkan perilakunya.
- Hukum
latihan (The Law of Exercise). Awalnya, hukum ini terdiri dari duajenis,
yang setelah tahun 1930 dinyatakan dicabut oleh Thorndike. Karena dia
menyadari bahwa latihan saja tidak dapat memperkuat atau membentuk
perilaku. Pertama, Law of Use yaitu hubungan antara S-R akan semakin kuat
jika sering digunakan atau berulang-ulang. Kedua, Law of Disuse, yaitu
hubungan antara S-R akan semakin melemah jika tidak dilatih atau dilakukan
berulang-ulang.Menurut Thorndike, perilaku dapat dibentuk dengan
menggunakan penguatan (reinforcement). Memang, latihan berulang tetap
dapat diberikan, tetapi yang terpenting adalah individu menyadari
konsekuensi perilakunya.
- Hukum
kesiapan (The Law of Readiness). Menurut Thorndike, pada prinsipnya apakah
sesuatu itu akan menyenangkan atau tidak menyenangkan untuk dipelajari
tergantung pada kesiapan belajar individunya. Dalam proses pembelajaran,
hal ini bermakna bahwa jika peserta dalam keadaan siap dan belajar
dilakukan, maka mereka akan merasa puas. Sebaliknya, jika pesert didik
dalam keadaan tidak siap dan belajar terpaksa dilakukan, maka mereka akan
merasa tidak puas bahkan mengalami frustrasi.
Prinsip-prinsip dasar dari Thorndike kemudian diperluas oleh B.F. Skinner dalam Operant Conditioning atau pelaziman/pengkondisian operan. Pelaziman operan adalah bentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan diulangi. Merujuk pada teori S-R, proses pembelajaran akan makin efektif jika peserta didik makin giat belajar. Dengan begitu, berarti makin tinggi pula kemampuannya dalam menghubungkan S dengan R.
4.
MENCOBA
Untuk memperoleh hasil belajar yang
nyata atau otentik, peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan,
terutama untuk materi atau substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran IPA,
misalnya,peserta didik harus memahami konsep-konsep IPA dan kaitannya dengan
kehidupan sehari-hari. Peserta didik pun harus memiliki keterampilan proses
untuk mengembangkan pengetahuan tentang alam sekitar, serta mampu menggunakan
metode ilmiah dan bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang
dihadapinya sehari-hari.
Aplikasi metode eksperimen atau mencoba dimaksudkan untuk
mengembangkan berbagai ranah tujuan belajar, yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Aktivitas pembelajaran yang nyata untuk ini adalah: (1) menentukan tema atau
topik sesuai dengan kompetensi dasar menurut tuntutan kurikulum; (2)
mempelajari cara-cara penggunaan alat dan bahan yang tersedia dan harus
disediakan; (3)mempelajari dasar teoritis yang relevan dan hasil-hasil
eksperimen sebelumnya; (4) melakukan dan mengamati percobaan; (5) mencatat
fenomena yang terjadi, menganalisis, dan menyajikan data;(6) menarik simpulan
atas hasil percobaan; dan (7)membuat laporan dan mengkomunikasikan hasil
percobaan.
Agar pelaksanaan percobaan dapat berjalan lancar maka: (1)
Guru hendaknya merumuskan tujuan eksperimen yanga akan dilaksanakan murid (2)
Guru bersama murid mempersiapkan perlengkapan yang dipergunakan (3) Perlu
memperhitungkan tempat dan waktu (4) Guru menyediakan kertas kerja untuk
pengarahan kegiatan murid (5) Guru membicarakan masalah yanga akan yang akan
dijadikan eksperimen (6) Membagi kertas kerja kepada murid (7) Murid
melaksanakan eksperimen dengan bimbingan guru, dan (8) Guru mengumpulkan hasil
kerja murid dan mengevaluasinya, bila dianggap perlu didiskusikan secara
klasikal.
5.
JEJARING
Jejaring Pembelajaran disebut juga Pembelajaran
Kolaboratif. Apa yang dimaksud dengan pembelajaran kolaboratif?
Pembelajaran kolaboratif merupakan suatu filsafat personal, lebih dari sekadar
sekadar teknik pembelajaran di kelas-kelas sekolah. Kolaborasi esensinya
merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia yang menempatkan dan
memaknai kerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang secara baik dan
disengaja rupa untuk memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan
bersama.
Pada pembelajaran kolaboratif kewenangan guru fungsi guru
lebih bersifat direktif atau manajer belajar, sebaliknya, peserta didiklah yang
harus lebih aktif. Jika pembelajaran kolaboratif diposisikan sebagai satu
falsafah peribadi, maka ia menyentuh tentang identitas peserta didik terutama
jika mereka berhubungan atau berinteraksi dengan yang lain atau guru. Dalam
situasi kolaboratif itu, peserta didik berinteraksi dengan empati, saling
menghormati, dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing. Dengan cara
semacam ini akan tumbuh rasa aman, sehingga memungkin peserta didik menghadapi
aneka perubahan dan tntutan belajar secara bersama-sama.
Ada empat sifat kelas atau pembelajaran kolaboratif.
Dua sifat berkenaan dengan perubahan hubungan antara guru dan peserta didik.
Sifat ketiga berkaitan dengan pendekatan baru dari penyampaian guru selama
proses pembelajaran. Sifat keempat menyatakan isi kelas atau pembelajaran
kolaboratif.
- Guru
dan peserta didik saling berbagi informasi. Dengan pembelajaran
kolaboratif, peserta didik memiliki ruang gerak untuk menilai
dan membina ilmu pengetahuan, pengalaman personal, bahasa komunikasi,
strategi dan konsep pembelajaran sesuai dengan teori, serta menautkan
kondisi sosiobudaya dengan situasi pembelajaran. Di sini, peran guru lebih
banyak sebagai pembimbing dan manajer belajar ketimbang memberi instruksi
dan mengawasi secara rijid.
- Berbagi
tugas dan kewenangan. Pada pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru
berbagi tugas dan kewenangan dengan peserta didik, khususnya untuk hal-hal
tertentu. Cara ini memungkinan peserta didik menimba pengalaman mereka
sendiri, berbagi strategi dan informasi, menghormati antarsesa, mendoorong
tumbuhnya ide-ide cerdas, terlibat dalam pemikiran kreatif dan kritis
serta memupuk dan menggalakkan mereka mengambil peran secara terbuka dan
bermakna.
- Guru
sebagai mediator. Pada pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru
berperan sebagai mediator atau perantara. Guru berperan membantu
menghubungkan informasi baru dengan pengalaman yang ada serta
membantu peserta didik jika mereka mengalami kebutuan dan bersedia
menunjukkan cara bagaimana mereka memiliki kesungguhan untuk belajar.
- Kelompok
peserta didik yang heterogen. Sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta
didk yang tumbuh dan berkembang sangat penting untuk memperkaya
pembelajaran di kelas. Pada kelas kolaboratif peserta didikdapat
menunjukkan kemampuan dan keterampilan mereka, berbagi informasi,serta
mendengar atau membahas sumbangan informasi dari peserta didik lainnya.
Dengan cara seperti ini akan muncul “keseragaman” di dalam heterogenitas
peserta didik.
DAFTAR
BACAAN
Dany & Nanik 2010. Strategi Pembelajaran Holistik Di Sekolah,
Jakarta : Prestasi
Pustakaraya.
Johnson, Elaine
B. 2006. Contextual
Teaching & Learning,
Bandung, MLC
Porter,
B.,Readon, M., dan Nourie, S. S. 2003. Quantum Teaching: Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang -Ruang Kelas. Bandung: Kaif
Sumantri, M.N.
2001 “ Menggagas
Pembaharuan Pendidik IPS”.
PT. Remaja Rosda Karya,
Bandung.
Peter G.
Cole dan Lorna
K.S. Chan, 1990”
Methods and Strategis
for Special Education” Prentice Hall odf Australia Pty Ltd.
Nurhidayati
Budi Utami, 1996 “ Hubungan Conformitas Dengan Kreatifitas Dan Motivasi Berprestasi Pada Siswa-siswi
1, 2 dan 3 SMU Ta‟miriah Surabaya”.
Skripsi Sarjana Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Alexandre,
Dumas. 2003 “ California Departement Of Education”. www. apa.
jurnals.
com.
terima kasih mba...artikel bermanfaat
BalasHapus